by
Yahya.Ahmad.Zein
Sudah sering dikemukakan adanya argumen bahwa untuk melaksanakan sistem pemilihan langsung itu, dibutuhkan persiapan sosial. Misalnya, dipersoalkan sejauhmana rakyat Indonesia di seluruh tanah air benar-benar siap, mengingat tingkat pendidikan yang masih rendah, tingkat kohesi sosial yang dianggap masih sangat rentan, dan budaya perbedaan yang belum berkembang serta panatisme figur yang berlebihan.
Yahya.Ahmad.Zein
Sudah sering dikemukakan adanya argumen bahwa untuk melaksanakan sistem pemilihan langsung itu, dibutuhkan persiapan sosial. Misalnya, dipersoalkan sejauhmana rakyat Indonesia di seluruh tanah air benar-benar siap, mengingat tingkat pendidikan yang masih rendah, tingkat kohesi sosial yang dianggap masih sangat rentan, dan budaya perbedaan yang belum berkembang serta panatisme figur yang berlebihan.
Penerapan sistem pemilihan langsung dikhawatirkan justru akan memicu disintegrasi sosial yang luas. Argumen seperti ini jelas sangat merendahkan dan tidak menghargai rakyat sendiri yang sebenarnya justru merupakan pemegang kedaulatan yang tertinggi. Sejak dulu, argumen seperti juga sering dipakai oleh elite politik untuk ”memanfaatkan” rakyat dalam pemilihan umum secara langsung. Sungguh kasihan rakyat kita yang terus menerus berada dalam akal-akalan demi kepentingan politik tertentu, meskipun kita telah merdeka lebih dari setengah abad.
Semua argumen sosio-kultural yang bernada pesimistis seperti ini pada pokoknya mendasarkan diri pada asumsi yang sangat negatif. Rakyat selalu diasumsikan tidak mampu bersikap demokratis dan dapat di ”manfaatkan” dengan money politik dan membarikan janji-janji romantisme bak Romi dan Juliet .
Selama ini, sikap negatif seperti inilah yang selalu dikembangkan, sehingga ide-ide dalam pemilihan umum langsung dimana rakyat sebenarnya dapat menentukan pemimpin sesuai hati nuraninya tenyata selalu gagal diterapkan dalam praktek. Padahal, Pemilu langsung ini sebenarnya dapat dikatakan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih tokoh-tokoh yang memang dapat memperjuangkan aspirasinya. Karena itu, dalam rangka menyongsong PILGUB Kal-Tim dan PILWALI Tarakan yang akan dilaksanakan tidak lama lagi, sikap negatif seperti itu harus diubah menjadi positif. Jika selalu dapat ”dimanfaatkan” oleh kepentingan sesaat elite politik, maka kita tidak akan pernah memberikan kesempatan bagi nurani kita untuk belajar memilih dengan jujur.
Pesimisme sosio-kultural ini juga diperkuat oleh ketakutan bahwa pemilihan langsung itu akan meningkatkan suhu konflik dalam masyarakat, baik di kota-kota maupun terutama di desa-desa sebagai akibat persaingan untuk menokohkan calon-calon yang berbeda-beda di kalangan masyarakat. Apalagi, sebagian besar masyarakat kita hidup di daerah yang sangat luas dan bahkan banyak di antaranya yang berada dalam ketidak pahaman sehingga mudah dimanipulasikan oleh elite. Terhadap kondisi seperti ini sudah saatnya rakyat bersatu untuk sepakat tidak tertipu lagi dalam PILGUB dan PILWALI mendatang oleh elite politik yang selalu menawarkan berbagaimacam hal untuk agenda kepentingannya.
Hal lain yang juga harus menjadi perhatian masyarakat agar tidak ”tertipu” dalam Pilkada langsung adalah bahwa akan terjadinya persaingan yang keras dan tajam, dan tidak tertutup kemungkinan terjadi persaingan yang tidak sehat antarparpol, maka diyakini akan terlihat berbagai akrobat politik saling menjatuhkan di antara parpol peserta pemilu. Bahkan, sebenarnya rakyat akan menjadi sasaran politik tidak sehat itu. Untuk itu pula, dapat dikatakan setiap masyarakat politik, parpol, mempunyai 'musuh' dalam selimut, yakni para warga politik itu sendiri yang hidup bukan demi masyarakat seluruhnya, melainkan menunggangi dan mengibuli masyarakat lewat argumen-argumen politik demi keuntungan dirinya dan kelompoknya. Karena itulah dalam politik selalu terjadi persaingan yang tidak sehat sebagaimana ibarat masyarakat serigala yang dipaparkan oleh filosof Thomas Hobbes lewat adagiumnya, homo homini lupus. Atau persaingan dalam masyarakat politik itu masih seperti layaknya binatang berjuang dan menggunakan instrumen konflik untuk mempertahankan eksistensinya. Sebagaimana dilukiskan sang naturalis Charles Darwin.
Akhirnya semoga Pemilu akan menjadi sebuah pesta demokrasi yang sesungguhnya tatkala semuanya berlangsung penuh etika yang bermuatan nilai nurani dan norma-norma dalam berdemokrasi, sehingga semua elemen masyarakat Kal-Tim dan Kota Tarakan khususnya tidak tertipu dan mampu memilih calon pemimpinnya sesuai dengan hati nurani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar