Senin, 29 Desember 2008

Akibat Yuridis Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) melalui Instrumen Alternatif Penyelesain Sengketa (APS).

Alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution atau ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Salah satu alasan sederhana yang menyebabkan suatu sengketa dipilih para pihak untuk di selesaikan secara non litigasi atau di luar pengadilan yang bersifat perdamaian maka hal ini pastilah di karenakan cara demikianlah yang dianggap paling baik, karena selain tidak memakan waktu yang lama, biayanya lebih murah dan lebih praktis. Meskipun dalam sengketa tersebut salah satu pihak harus menanggung ganti rugi. Berbeda dengan penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan, di mana biaya yang harus di pukul kedua belah pihak lebih besar, kurang praktis, dan memakan waktu yang cukup lama, dalam hal penyelesaian perkaranya sampai pada suatu keputusan.
Sengketa yang terjadi dalam masyarakat itu efeknya pasti menimbulkan ketegangan terhadap hubungan antara pihak-pihak yang bersengketa, bahkan mungkin lebih besar lagi (antara keluarga pihak-pihak yang bersangkutan). Hal ini berarti hubungan kemasyarakatan antara anggota masyarakat.
Titik tolak yang menjadi dasar pemikiran kenapa harus meminta perdamaian, sebenarnya sudah diketahui meskipun mungkin terlupakan. Bukankah sengketa perdata yang terjadi dalam masyarakat itu efeknya pasti menimbulkan ketegangan terhadap hubungan antara pihak-pihak yang bersengketa bahkan mungkin lebih besar lagi (antara keluarga pihak-pihak yang bersangkutan). Hal ini berarti hubungan kemasyarakatan antara anggota-anggota masyarakat yang bersengketa itu telah bergeser dari posisinya yang semua harmonis kepada pertentangan sebagai konsekuensi dari pada hubungan anggota-anggota masyarakat yang bersengketa itu bukan lagi didasari rasa kekeluargaan, persaudaraan dan persahabatan serta kasih sayang, tetapi sudah didasari rasa permusuhan dan kebencian yang lebih banyak dikendalikan oleh emosi daripada akal pikiran yang sehat. Selanjutnya pertentangan itu semakin lama semakin tajam, dan apabila tidak segera diselesaikan dengan berlandaskan keharmonisan dan keserasiannya, maka tidak jarang bertentangan tersebut pada gilirannya melahirkan kehancuran hubungan kemasyarakatan yang sangat tegang itu. Menyelesaikan suatu pertentangan yang timbul disebabkan sengketa perdata dengan keputusan pengadilan sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai cara yang sudah paling tepat sebagaimana disangka kebanyakan orang. Menyelesaikan suatu perkara/sengketa perdata dengan keputusan pengadilan harus dipandang sebagai cara yang formal saja sekedar lebih terpuji daripada menghakimi sendiri (eigenrechting). Dengan keputusan pengadilan suatu sengketa memang dapat berakhir, namun berakhirnya sengketa ini hanyalah semata-mata pada lahiriahnya saja, sesungguhnya adalah konsekuensi dari keputusan pengadilan yang semata-mata hanya mendasarkan pada faktor objektif, tidak menyangkut juga kepada fakta subjektif, sehingga isi keputusan itu selalu menyatakan ada pihak yang kalah dan ada pihak yang menang. Hal ini berakibat pihak yang dikalahkan merasa kecewa dan pihak yang dimenangkan akan bersuka ria. Sudah barang tentu pihak yang dikalahkan merasa kecewa tidak begitu saja mengakui kekalahannya serta menerima kekecewaannya. Ketidakmauan yang kalah untuk menerima segala kekalahannya pada kebanyakan bukan karena didasarkan atas pertimbangan akal pikiran (ratio) bahwa ia tidak harus kalah, tetapi karena pengaruh luapan emosi demi menjaga nama baiknya, serta harga diri keluarganya. Jadi terlepas dari ukuran salah satu benar. Ketidakmauan pihak yang kalah menerima begitu saja kekalahannya dapat dilihat pada sikapnya yang apriori menolak putusan hakim pada pengadilan negeri, lalu naik banding dan kasasi. Apabila keadaan ini terjadi, maka proses pengadilan jelas akan memakan waktu bertahan-tahun lamanya.
Keadaan demikian bertolak belakang dengan cara atau upaya perdamaian, yang jelas akan diliputi dengan suasana kekeluargaan di antara para pihak yang berperkara. Hal ini dikarenakan did alam perdamaian tidak ditonjolkan faktor-faktor siapa yang salah dan siapa yang benar, namun akan ditonjolkan adalah rangkaian duduk persoalan yang sebenarnya. Sehingga perumusan perdamaian tidak menghasilkan adanya pihak yang kalah maupun pihak yang menang.
Di sinilah letak manfaatnya sistem perdamaian atau non litigasi (di luar pengadilan) di mana apabila persengketaan yang dilakukan dengan perdamaian yang menghasilkan keputusan lahiriah dan batiniah serta hubungan kedua belah pihak diharapkan akan terjalin seperti sedia kala. Bahkan kadang-kadang dengan terjalinnya perdamaian acapkali membawa hubungan pihak yang bersengketa menjadi lebih intim dan akrab daripada keadaannya semula. Di samping itu biaya, tenaga maupun waktu untuk menyelesaikan sengketa dengan perdamaian jauh lebih murah bila dibandingkan suatu sengketa diselesaikan dengan keputusan pengadilan/ hakim.
Berkaitan dengan penyelesaian sengketa Hak Asasi Manusia (HAM) melalui instrumen Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) pada dasarnya dimungkinkan sebagaimana tertuang dalam Pasal.76 ayat 1 sebagaimana fungsi dari komnas HAM dalam rangka mencapai tujuannya, Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia.
Apabila kita melihat dari putusan perdamaian (non litigasi) atau di luar pengadilan, maka putusan perdamaian tersebut mempunyai beberapa keistimewaan, yakni sebagai berikut :
1. Mempunyai kekuatan hukum tetap.
2. Tertutup upaya banding dan kasasi (bersifat final).
3. Mengikat kedua belah pihak yang
4. Memiliki kekuatan eksekutorial. 38
Keistimewaan putusan terhadap sengketa yang diselesaikan di luar pengadilan melalui jalur perdamaian dapat dijabarkan seperti di bawah ini :
1. Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap
Putusan perdamaian yang dilakukan di luar pengadilan disamakan seperti putusan-putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap yang melekat kekuatan hukum tetap pada putusan perdamaian kekuatan hukum dari putusan perdamaian dari kedua belah pihak yang bersengketa mempunyai suatu kekuatan seperti suatu putusan hakim dalam tingkat penghabisan.
2. Bersifat Final (Tertutup Upaya Banding dan Kasasi)
Keistimewaan kedua dari putusan perdamaian adalah tertutup upaya hukum baik upaya hukum banding maupun kasasi. Suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan bersifat final yang tidak dapat dikenakan banding atau kasasi. Sehingga ketua pengadilan negeri tidak diperkenankan untuk memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan perdamaian (di luar pengadilan), karena putusan perdamaian tersebut sudah bersifat final, mandiri dan mengikat.
3. Mengikat Kedua Belah Pihak
Putusan perdamaian/putusan di luar pengadilan) hampir sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang dalam dirinya ada dan melekat kekuatan hukum yang mengikat terhadap para pihak atau terhadap orang yang mendapat hak dari mereka. Di mana para pihak dapat membatalkannya secara sepihak melalui bantuan pihak ketiga sebagai penengah yang bersifat netral, para pihak mesti mentaati dan melaksanakan sepenuhnya isi yang tercantum dalam putusan perdamaian.
Para pihak harus mentaati dan mematuhi isi putusan perdamaian tetapi juga dari segi tujuannya, dari segi sifat perdamaian itu sendiri, dan juga menurut kepatutan dan kebiasaan.
4. Memiliki Kekuatan Eksekusi
Dalam hal putusan perdamaian, tidak saja kekuatan hukum melekat yang mengikat pada peraturan perdamaian, tetapi di dalamnya juga melekat kekuatan hukum eksekutorial. Hal ini berarti, jika salah satu tidak enggan melaksanakan isi persetujuan perdamaian “secara sukarela”, maka pihak yang lain dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Negeri, agar supaya pihak yang ingkar tadi dipaksa memenuhi isi putusan perdamaian, dan apabila perlu dapat diminta bantuan kekuasaan umum (Kepolisian).
Jelasnya, bahwa semua ketentuan eksekusi terhadap putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, berlaku sepenuhnya terhadap eksekusi putusan perdamaian.
Dengan demikian penataan dan pemenuhan putusan perdamaian sama halnya dengan penataan dan pemenuhan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum, yakni :
1. Penataan dan pemenuhannya dapat dilakukan secara sukarela.
2. Penataan dan pemenuhannya dapat dipaksakan melalui eksekusi, jika salah satu pihak enggan mentaati dan memenuhinya secara sukarela.
Jadi pada prinsipnya putusan perdamaian yang dilakukan di luar jalur pengadilan memperpendek dan mempersingkat proses penyelesaian perselisihan diantara para pihak yang bersengketa.
Jika, kita kaitkan dengan sengketa yang berhubungan dengan Hak Asasi Manusia, maka akibat hukum dari hasil penyelesaian sengketa HAM di luar Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap, bersifat mandiri, bersifat final, tertutup upaya hukum banding dan kasasi, mempunyai kekuatan hukum mengikat kedua belah pihak dan memiliki kekuatan eksekusi terhadap isi dari hasil putusan perdamaian. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat 7 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final, dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 hari sejak penandatanganan.


38 M. Victor Situmorang, 1993, Perdamaian dan Perwasitan dalam Hukum Acara Perdata, Penerbit Rineka Cita, Jakarta, hal. 15.

Selasa, 18 November 2008

HARAPAN TERHADAP WAJAH CALEG TARAKAN

Saya sekarang semakin tahu bahwa
politik itu bikin bingung, terutama
bagi mereka yang tidak tahu politik,
seperti saya.
Oleh karena itu,
saya memutuskan, mulai sekarang tidak mau lagi terlibat
atau dilibatkan dalam soal politik.
Wis, kapok!” –Ki Manteb (Dalang).
Petikan tersebut menarik bukan
karena seorang dalang yang
mengucapkannya, namun isinya
yang mengarah pada masyarakat
apolitis. Hal itu terjadi karena politik
yang dipandang hanya berisi ”aksi tipu-tipu” belaka.
Tulisan berikut akan ingin melihat lebih
jauh maraknyaparpol yang mengusung
caleg menjelang Pemilu Legislatif

Tarakan tahun 2009 mendatang.

Mencermati begitu banyaknya partai yang mengusung Caleg dan ingin bersaing menjadi Pemenang pada pemilu Legislatif Tarakan 2009 mendatang, tentu saja, tidak tertutup kemungkinan tercipta berbagai macam persaingan yang tidak sehat, dan hal ini sebenarnya harus menjadi pendorong bagi masyarakat Tarakan untuk lebih selektif dan ekstra hati-hati dalam menentukan pilihan dalam sistem multipartai saat ini.

Kecenderungan ini mengacu pada alasan situasional dan manusiawi bahwa dalam keadaan seperti ini , secara psikologis, setiap parpol akan berusaha semaksimal mungkin “menjual” Caleg-Calegnya bahkan bisa jadi akan ada kecenderungan menghalalkan segala cara untuk meraih suara terbanyak dan memenangkan pemilu legislatif melalui intrik politik atau politik uang. Kita masih ingat betapa suara manis atas nama rakyat yang sering terdengar pada setiap pemilu di masa-masa sebelumnya. Walaupun, sebenarnya itu hanya slogan 5 tahun sekali yang sudah sangat dipahami masyarakat sebagai sarana “jualan” yang konservatif.

Dengan terjadinya persaingan yang keras dan tajam, dan tidak tertutup kemungkinan terjadi persaingan yang tidak sehat antarparpol dalam Pelimu Legislatif di Tarakan mendatang, maka dapat dipastikan akan terlihat berbagai akrobat politik saling menjatuhkan di antara caleg parpol peserta pemilu yang banyak tersebut, bahkan akrobat politik ini sudah bisa terlihat dengan memasang berbagai bentuk Baleho sebagai sarana “promosi”. Untuk itu, dapat dikatakan bahwa setiap masyarakat Tarakan mempunyai 'musuh' dalam selimut, yakni para caleg partai politik itu sendiri yang hidup bukan demi masyarakat seluruhnya, melainkan menunggangi dan mengibuli masyarakat lewat argumen-argumen politik demi keuntungan dirinya dan kelompoknya.

Politik sebenarnya lahir untuk melindungi kepentingan egosentrisme, tetapi dengan memperhitungkan hukum dan tuntutan-tuntuan sosial masyarakat publik-umumnya. Politik sebagai wahana sosial tempat orang-orang berjuang agar haknya diakui, suaranya didengar dan kepentingannya dijamin. Singkatnya, politik adalah suatu taktik dan teknik untuk menciptakan ekuilibrium sosial yang berusaha membawa harmoni bagi kekuatan-kekuatan yang antagonistik. Namun, bila tidak dikelola dengan baik, maka politik dapat menciptakan ruang lebar bagi ambisi dan egoisme pribadi yang berlebihan, untuk meniti tangga kekuasaan sebagai puncak dari peraihan keuntungan dan kepentingan pribadi. Ujung daripada itu, adalah di mana politik berputar-putar dalam labirin kekuasaan yang tidak berorientasi kepada kepentingan masyarakat.

Sebenarnya ada banyak harapan dari masyarakat Tarakan terhadap Caleg mendatang, masyarakat sangat berharap agar para caleg ini berusaha untuk menciptakan sirkuit yang dapat menjembatani kepentingan individual yang majemuk di Tarakan hingga terwujud suatu 'ruang publik' yang mempertemukan aneka ragam kepentingan serta kebutuhan individual yang berbeda itu. Untuk itu tentu saja di perlukan Caleg yang sudah lama berdomisili di Kota Tarakan dan benar-benar mengetahui wilayah dan kultur masyarakat Tarakan serta mampu mengetahui dengan pasti apa yang menjadi kebutuhan masyarakat.

Oleh karena itu keberadaan caleg yang paham dan mengetahui kondisi suatu daerah, merupakan naluri ego dan kebutuhan, yang tidak dapat dipungkiri perlu ada sebagai bagian dari etika. Etika yang menyitir bahasa kekuasaan yang bukan penuh kekerasan, keserakahan dan penuh nafsu, melainkan bahasa tanggung jawab. Tanggung jawab sebagai jembatan hidup antarmanusia sebagai makhluk bersosial dan bermasyarakat. Etika seperti ini pada hakikatnya adalah fenomena masyarakat, sebagai suatu keharusan yang ada dalam setiap diri Caleg dalam rangka menciptakan tujuan yang sama antara Caleg dan Masyarakat yakni Kesejahteraan masyarakat.

Akhirnya Keberhasilan pemilu Legislatif Tarakan 2009 mendatang nantinya tidak hanya dapat diukur dari siapa caleg yang terpilih, melainkan juga dari seberapa caleg tersebut mampu membawa dan memahami aspirasi dan kebutuhan masyarakat Tarakan secara keseluruhan.. Semoga....

Rabu, 12 November 2008

Status Hukum Yayasan

Pendirian suatu Yayasan di Indonesia, sebelum adanya Undang-undang Yayasan hanyalah berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat dan yurisprudensi Mahkamah Agung. Oleh karenanya di negara kita Yayasan berkembang di masyarakat tanpa ada aturan yang jelas. Akibatnya sudah bisa ditebak, banyak Yayasan yang disalahgunakan dan menyimpang dari tujuan semula yaitu sebagai lembaga yang nirlaba dan bertujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Sedangkan status hukumnya sebagai badan hukum masih sering dipertanyakan oleh banyak pihak, karena keberadaan Yayasan sebagai subyek hukum belum mempunyai kekuatan hukum yang tegas dan kuat.

Pada waktu itu ada kecendrungan masyarakat memilih bentuk Yayasan antara lain karena alasan :[1]

  1. Proses pendiriannya sederhana
  2. Tanpa pengesahan dari Pemerintah
  3. Adanya persepsi dari masyarakat bahwa Yayasan bukan merupakan subyek pajak

Walaupun demikian, harus dicatat bahwa Yayasan sebagai badan hukum telah diterima dalam suatu yurisprudensi tahun 1882. Hoge Raad yang merupakan badan peradilan tertinggi di negeri Belanda berpendirian bahwa Yayasan sebagai badan hukum adalah sah menurut hukum dan karenanya dapat didirikan. Pendapat Hoge Raad ini diikuti oleh Hooggerechtshof di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) dalam putusannya dari tahun 1884. Pendirian Hoge Raad tersebut dikuti oleh Hooggerechtshof di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) dalam putusannya dari tahun 1884. Pendirian Hoge Raad di negeri Belanda tersebut dikukuhkan dengan diundangkannya Wet op Stichting Stb.Nomor 327 Tahun 1956, dimana pada Tahun 1976 Undang-undang tersebut diinkorporasikan ke dalam bukum kedua Burgerlijk Wetboek yang mengatur perihal badan hukum (buku kedua titel kelima Pasal 285 sampai dengan 305 BW Belanda).[2]

Disamping itu yurisprudensi di Indonesia dalam putusan Mahkamah Agung RI tanggal 27 Juni 1973 No.124 K/Sip/1973 dalam pertimbangannya bahwa pengurus yayasan dalam mewakili yayasan di dalam dan di luar pengadilan, dan yayasan mempunyai harta sendiri antara lain harta benda hibah, maka Mahkamah Agung memutuskan bahwa Yayasan tersebut merupakan suatu badan hukum.

Jika Yayasan dapat dikatakan sebagai badan hukum, berarti Yayasan adalah subyek hukum. Yayasan sebagai subyek hukum karena memenuhi hal-hal sebagai berikut :[3]

  1. Yayasan adalah perkumpulan orang
  2. Yayasan dapat melakukan perbuatan hukum dalam hubungan-hubungan hukum
  3. Yayasan mempunyai kekayaan sendiri
  4. Yayasan mempunyai pengurus
  5. Yayasan mempunyai maksud dan tujuan
  6. Yayasan mempunyai kedudukan hukum
  7. Yayasan mempunyai hak dan kewajiban
  8. Yayasan dapat digugat dan menggugat di muka pengadilan

Meskipun belum ada Undang-undang yang secara tegas menyatakan Yayasan sebagai badan hukum namun beberapa pakar hukum Indonesia, diantaranya Setiawan, SH, Prof. Soebekti dan Prof Wijono Prodjodikoro berpendapat bahwa Yayasan merupakan badan hukum.[4]

Setiawan, SH mantan Hakim agung Mahkamah agung RI dalam tulisannya yang berjudul : Tiga Aspek Hukum Yayasan” pada Majalah Varia Peradilan Tahun V No.55 April 1990 bependapat bahwa Yayasan adalah badan hukum.

Dalam kesempatan lain Setiawan dalam tulisannya yang berjudul “Status hukum Yayasan dalam kaitannya dengan Penataan Badan-badan Usaha di Indonesia; Makalah Seminar Yayasan; Status hukum dan sifat Usahanya: Fakultas Hukum UI,1989) menyatakan pula bahwa, walaupun tidak ada peraturan tertulis mengenai Yayasan, praktek hukum dan kebiasaan membuktikan bahwa di Indonesia itu : a. Dapat didirikan suatu Yayasan, b. Yayasan berkedudukan sebagai badan hukum.

Prof. Soebekti dalam Kamus Hukum terbitan Pradnya Paramita, menyatakan bahwa,”Yayasan adalah suatu badan hukum dibawah pimpinan suatu badan pengurus dengan tujuan sosial dan tujuan tertentu yang legal.”

Prof. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan tertentu” berpendapat bahwa Yayasan adalah badan hukum. Dasarnya adalah suatu Yayasan mempunyai harta benda/kekayaan, yang dengan kemauan pemilik ditetapkan guna mencapai tujuan tertentu.

Meskipun belum diatur dalam suatu Undang-undang, tetapi dalam pergaulan hidup Yayasan diakui keberadaannya, sebagai badan hukum yang dapat turut serta dalam pergaulan hidup di masyarakat artinya dapat melakukan jual beli, sewa menyewa dan lain-lain.

Dari uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa status hukum Yayasan sebelum adanya Undang-Undang Yayasan, diakui sebagai badan hukum yang menyandang hak dan kewajibannya sendiri, yang dapat digugat dan menggugat di muka pengadilan, serta memiliki status yang dipersamakan dengan orang perorangan sebagai subyek hukum dan keberadaannya ditentukan oleh hukum.

Sebagai badan hukum, Yayasan cakap melakukan perbuatan hukum sepanjang perbuatan hukum itu tercakup dalam maksud dan tujuan Yayasan yang dituangkan dalam Anggaran Dasar Yayasan. Dalam hal Yayasan melakukan perbuatan hukum , yang diluar batas kecakapannya (ultra vires), maka perbuatan hukum tersebut adalah batal demi hukum.

Dengan berlakunya Undang-undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 Jo Nomor 28 tahun 2004, Pasal 1 ayat (1) dengan tegas menyebutkan bahwa, ” Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.” Walaupun Undang-undang ini tidak secara tegas menyatakan Yayasan adalah badan hukum non profit/nirlaba, namun tujuannya yang bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan itulah yang menjadikan Yayasan sebagai suatu badan hukum non profit/nirlaba.

Mengingat pendirian Yayasan mempunyai syarat formil, maka status badan hukum Yayasan baru dapat diperoleh pada saat akte pendiriannya disahkan oleh Menteri Kehakiman sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (1).

Pengakuan keberadaan Yayasan dalam sebuah Undang-undang Yayasan adalah dilatarbelakangi adanya kekosongan hukum dan mengembalikan fungsi Yayasan.

Bagi Yayasan yang telah ada sebelum adanya Undang-undang Yayasan, berlaku Pasal 71 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 yang merupakan ketentuan peralihan, menyatakan bahwa : Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Yayasan yang telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumukan dalam Tambahan Berita Negara RI atau yang telah di daftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai ijin melakukan kegiatan dari instansi terkait, tetap diakui sebagai badan hukum dalam jangka waktu paling lambat 3 (tga) tahun terhitung sejak tanggal Undang-undang ini mulai berlaku. Yayasan tersebut wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-undang ini. Yayasan yang telah menyesuaikan Anggaran Dasarnya wajib memberitahukan kepada Menteri Kehakiman paling lambat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian.

Yayasan yang telah didirikan dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatas dapat memperoleh status badan hukum dengan cara menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-undang ini, dengan mengajukan permohonan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal Undang-undang ini mulai berlaku.

Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam jangka waktu yang ditentukan, tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan Putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.

B. Konsekwensinya terhadap wewenang dan tanggung jawab Pengurus Yayasan

1. Wewenang Pengurus

Dalam hubungannya dengan tujuan sosial dari Yayasan yang berkaitan dengan organisasi Yayasan sebagaimana yang dikehendaki (das sollen) dan persoalan bagaimana agar Yayasan tidak menyimpang dari tujuan semula, maka kewenangan dan tanggung jawab Pengurus amatlah sentral.

Sebagai suatu lembaga yang diakui secara resmi sebagai suatu badan hukum, yang dapat menyelenggarakan sendiri kegiatannya, dengan harta kekayaan yang terpisah dan berdiri sendiri, Yayasan mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan sendiri dokumen-dokumen kegaiatannya, termasuk kegiatan pembukuan, pelaporan keuangan dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Semua itu dilaksanakan oleh Pengurus Yayasan. Ini berarti Pengurus Yayasan adalah peran kunci bagi jalannya Yayasan. Yayasan tidak mungkin dapat menjalankan kegiatannya tanpa adanya Pengurus, demikian juga keberadaan Pengurus bergantung sepenuhnya pada eksistensi Yayasan. Ini berarti Pengurus merupakan organ kepercayaan Yayasan, sebagai pengemban fiduciary duty bagi kepentingan Yayasan untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan.

Adalah menarik bahwa hukum memberikan status badan hukum bagi organisasi dengan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang bersifat tidak mencari keuntungan seperti Yayasan, karena ternyata Yayasan mempunyai perbedaan yang karakteristik dengan badan hukum lainnya.

Salah satu unsur yang lemah dalam konstruksi Yayasan adalah bahwa semua kekuasaan dan kewenangan dapat terkonsentrasi pada Pengurus Yayasan. Namun Yayasan tidak mempunyai anggota, dan Pengurus bukanlah anggota Yayasan. Bila dalam perkumpulan terdapat cheks and balances adalah karena diberikan pada rapat umum anggota perkumpulan beberapa kewenangan yang bersifat memaksa, tetapi hal seperti ini tidak terdapat dalam sebuah Yayasan. Di dalam Yayasan tidak ada rapat Pengurus.

Setelah akte pendirian disahkan oleh Menteri kehakiman maka kelanjutan jalannya kehidupan Yayasan bergantung sepenuhnya kepada Pengurus Yayasan. Susunan Pengurus sekurang-kurangnya terdiri atas seorang Ketua, seorang Sekretaris dan seorang Bendahara.

Permasalahan yang timbul dari kewenangan bertindak Pengurus Yayasan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan Pengurusnya terhadap pihak ketiga. Dalam hal Pengurus Yayasan, maka Pengurus Yayasan berwenang untuk mewakili badan hukum Yayasan. Sehubungan dengan hal ini ada 2 pengertian yang berkenaan dengan kewenangan yaitu Pengurus dapat mewakili, guna bertindak untuk serta atas nama suatu Yayasan/badan hukum pada umumnya, kemudian pengertian yang kedua mencerminkan kewenangan mewakili ataupun kewenangan Pengurus bertindak dengan segala persyaratan serta pembatasannya sebagaimana ditentukan dalam Anggaran Dasar.

Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa, ”Pengurus adalah organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan Yayasan.” Jadi disini terlihat kekuasaan Pengurus sangatlah besar, karena Undang-undang Yayasan tidak mengatur secara tegas apa saja yang menjadi wewenang Pengurus, penjelasan pasal 31 ayat (1) hanya mengatakan “cukup jelas” untuk pernyataan ini, sehingga dapat dikatakan operasional Yayasan semata-mata bergantung pada Pengurus, maka Pengurus yang tidak bermaksud baik, dengan sangat mudah dapat menggeser tujuan semula Yayasan, menjadi suatu kegiatan usaha dengan tujuan mengejar keuntungan atau memperkaya diri sendiri.

Gejala penyimpangan yang dilakukan oleh Pengurus terhadap tujuan semula dari Yayasan sangat dirasakan dari banyaknya usaha-usaha yang dilakukan oleh berbagai Yayasan yang memperoleh keuntungan, karena hal ini tidak dilarang oleh Undang-undang Yayasan, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) bahwa, ”Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha.” Memperoleh keuntungan ditafsirkan berbeda dengan mengejar keuntungan, sehingga Pengurus melegalkan semua kegiatan usaha mereka dengan alasan semua itu untuk membiayai Yayasan. Hal inilah yang sering menimbulkan konflik di dalam penyelenggaraan kegiatan Yayasan, yang semua itu bemuara pada perebutan kedudukan dalam kepengurusan dan pada hasil usaha Yayasan.

Pengundangan Yayasan diharapkan dapat menertibkan dan mendudukkan kembali Yayasan pada tempatnya semula serta memberikan porsi yang benar bagi kepengurusan dan pengelolaan Yayasan.

Upaya utama dalam mencegah terjadinya penyimpangan tersebut haruslah bermula dari perumusan Anggaran Dasar Yayasan itu sendiri, karena kewenangan bertindak Pengurus Yayasan, sama seperti kewenangan bertindak Pengurus suatu Badan Hukum yang biasanya dirumuskan dalam Anggaran Dasarnya. Anggaran Dasar merupakan hukum positif yang mengikat semua Organ Yayasan. Hal yang sama dapat dilihat pada Anggaran Dasar Perseroan Terbatas. Sebagaimana dikemukan oleh Tumbuan, bahwa ”Anggaran Dasar merupakan hukum positif dan karenanya mengikat semua pemegang saham, anggota Direksi dan anggota Komisaris.”[5] Maksud dan tujuan Yayasan juga dapat berlaku sebagai pembatas kewenangan bertindak dari Pengurus Yayasan yang bersangkutan.

Dengan adanya sifat sosial, kemanusiaan dan keagamaan, menjadikan Yayasan tidak mengejar keuntungan, sehingga hasil usaha Yayasan juga tidak dapat dibagikan kepada semua organ Yayasan, seperti yang disebutkan dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 bahwa, ”Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas,” kemudian pasal 5 juga menyebutkan bahwa, ”Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang maupun kekayaan lainnya yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas, karyawan atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap Yayasan.” Namun dari penelitian Chatamarrasjid dari 150 Yayasan, hanya 5 Yayasan yang mencantumkan di dalam Anggaran dasarnya bahwa semua organ Yayasan tidak menerima imbalan/keuntungan bersifat materi dari Yayasan, selebihnya ada 145 Yayasan yang tidak mencantumkan bahwa organ Yayasan tidak boleh menerima imbalan dari Yayasan.

Ketentuan ini banyak menimbulkan protes dikalangan Pengurus Yayasan yang sudah eksis, karena tidaklah dapat dicerna secara logika bahwa orang bekerja keras, tanpa ada manfaat yang didapat. Dalam hubungan ini Pengurus Yayasan memang dianggap melakukan pekerjaan sosial, namun bukan semata-mata amal atau belas kasihan. Oleh karena itu Pengurus Yayasan seharusnya juga berhak memperoleh gaji walaupun bukan dalam bentuk suatu “keuntungan” karena Yayasan tidak mengejar keuntungan. Adalah sangat ironis, jika Yayasan sebagai badan hukum, dimana Undang-undang Yayasan memberikan wewenang dan tanggung jawab yang sangat besar kepada Pengurusnya akan tetapi dilain pihak menerapkan pembatasan dan pengekangan terhadap kebebasan dan manfaat yang mereka terima dari hasil usaha Yayasan, tidak seperti halnya dengan Direksi dalam suatu Perseroan Terbatas. Dengan adanya ketentuan Pasal 5 tersebut diatas tentunya akan banyak Pengurus Yayasan yang merasa enggan untuk melanjutkan kepengurusan Yayasan, Yayasan akan kesulitan mencari Pengurus yang benar- benar melakukan pekerjaannnya dengan suka rela dan selanjutnya dengan ketiadaan Pengurus Yayasan akan sulit melakukan aktivitasnya untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan, karena organ Pengurus ini merupakan kunci bagi jalannya kegiatan Yayasan. Hal inilah yang menjadi perdebatan banyak pihak.

Untuk merespon adanya perdebatan tersebut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 kemudian dirubah dan ditambah menjadi Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004, dimana Undang-undang Yayasan yang baru ini menegaskan bahwa pada dasarnya kekayaan Yayasan tidak dapat dibagi. Tujuan penegasan itu adalah dimaksudkan agar Yayasan tidak sebagai wadah usaha seperti pada masa lalu, oleh karena itu agar Pengurus dapat diberikan honor atau gaji, jalan keluarnya adalah di dalam Anggaran Dasarnya ditambah klausula ”Pengurus dapat menerima gaji, upah atau honorarium, dalam hal Pengurus Yayasan a. Bukan pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina dan Pengawas, dan ; b. Melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh.” Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 28 tahun 2004. Namun hal ini juga belum bisa menuntaskan konflik di dalam penyelenggaraan kegiatan Yayasan, karena dalam prakteknya masih banyak terjadi jabatan rangkap, antara Pendiri dan Pengurus. Padahal Pasal 31 ayat (3) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 menyebutkan bahwa, ”Pengurus tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau pengawas.”

2. Tanggung Jawab Pengurus

Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa,” Pengurus adalah organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan Yayasan.” Kemudian pasal 35 ayat (1) menyebutkan bahwa,”Pengurus Yayasan bertanggung jawab penuh atas kepengurusan untuk kepentingan dan tujuan Yayasan serta berhak mewakili Yayaan baik di dalam dan di luar Pengadilan.” Kalau melihat rumusan pasal-pasal diatas, Pengurus mempunyai tugas yang sangat berat, yaitu bertanggungjawab secara penuh dan besar atas maju mundurnya dan terselenggaranya dengan baik suatu Yayasan, bahkan dalam Pasal 35 ayat (5) disebutkan bahwa,” setiap Pengurus bertanggungjawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar, yang mengakibatkan kerugian Yayasan atau pihak ketiga.”

Selanjutnya dalam Pasal 39 ayat (1) disebutkan bahwa,”Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Pengurus dan kekayaan Yayasan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota Pengurus secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut.” Kemudian dalam ayat (2) nya menyebutkan bahwa,” Anggota Pengurus dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Kalau melihat dari rumusan Pasal 39 ayat (2) diatas dan jika dihubungkan dengan ayat (1) nya, kelihatannya Undang-undang Yayasan ingin menerapkan sistem pembuktian terbalik kepada Pengurus Yayasan. Bahwa dalam keadaan pailit Pengurus dapat membuktikan secara aktif bahwa dirinya bukanlah yang menyebabkan Yayasan pailit, namun jika Pengurus gagal membuktikan itu, ia akan bertanggungjawab secara tanggung renteng (sampai ke harta pribadinya).

Karakteristik demikian ada kemiripan dengan tugas dan wewenang Direksi dalam Perseroan Terbatas, dimana seorang Direksi secara profesional mempunyai tanggung jawab penuh atas kepengurusan Perseroan untuk kepentingan dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar Pengadilan. Penerapan sistem pembuktian terbalik kepada Direksi dalam suatu Perseroan Terbatas adalah masuk akal, setidak-tidaknya karena berbeda dengan Pengurus Yayasan, Direksi memiliki kebebasan dalam menikmati manfaat dan hak yang setimpal dalam kapasitasnya sebagai anggota Direksi.

Penerapan sistem pembuktian terbalik pada Pengurus Yayasan terlihat sangat berat karena Pengurus Yayasan tidak sebanding dengan manfaat yang mereka terima, kemudian juga jika sistem ini dilakukan untuk menjerat Pengurus Yayasan pada masa lalu yang telah banyak melakukan penyimpangan, kelihatannya tidak efektif juga, karena Pasal-pasal dari Undang-undang Yayasan ini tidak ada yang menyatakan berlaku surut.

Selanjutnya tanggung jawab Pengurus Yayasan akan ditambah lagi dengan adanya ketentuan tentang pelaksanaan akuntabilitas publik, sebagai akibat keberadaan Yayasan sebagai organisasi publik.

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa Pengurus Yayasan mempunyai wewenang dan tanggung jawab yang besar atas terselenggaranya Yayasan, sehingga benar-benar memerlukan tenaga-tenaga Pengurus yang profesional. Dengan demikan konsekwensinya Pengurus harus mendapatkan imbalan yang memadai sesuai dengan sifat-sifat profesionalitas atas tugas-tugas dan tanggung jawabnya tersebut.

Jika Pengurus Yayasan tidak mendapat imbalan yang memadai, maka kemungkinan, tidak akan ada lagi orang yang mau menjadi Pengurus Yayasan, dan tentunya ini akan berakibat pada berkurangnya lembaga yang berbentuk Yayasan. Ini akan merugikan fakir miskin, anak-anak terlantar dan masyarakat umum yang selama ini menjadi stakeholder dan penerima manfaat dari aktivitas Yayasan. Dengan demikian ada kemungkinan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945 akan semakin sulit untuk diwujudkan.

Selain itu jika melihat wewenang dan tanggung jawab yang besar dari Pengurus Yayasan, maka diperlukan Pengawasan tersendiri. Selama ini Yayasan telah mempunyai organ Pengawas yang diangkat oleh Pembina, akan tetapi ini hanyalah Pengawasan internal. Sehingga selama ini sanksi-sanksi yang ada dalam Undang-undang Yayasan kelihatannya tidak dapat diterapkan secara efektif.

Sebaiknya pengangkatan Pengawas tidak diserahkan kepada Pembina, ini untuk menjamin kebebasan Pengawas dalam melaksanakan tugasnya. Selain Pengawas intern sebaiknya diangkat juga Pengawas ekstern, guna mengimbangi kekuasaan Pengurus yang sangat besar. Pengawas ekstern ini dapat diserahkan kepada Kejaksanaan, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 53 ayat (1) bahwa, ”Dalam hal Pengurus Yayasan diduga melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan Anggaran dasar, atau lalai dalam melakukan perbuatan sehingga merugikan Yayasan, pihak ketiga atau merugikan Negara, maka kejaksaan dapat meminta kepada Pengadilan untuk mengadakan pemeriksaan kepada Yayasan, untuk mewaikili kepentingan umum (ayat 3).



[1] Setiawan. 1992. Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata. Bandung. Alumni.Hal.201

[2] Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi. 2002. Hukum Yayasan di Indonesia. Jakarta. PT.Abadi. Hal.18-19

[3] Hasbullah Syawie. 1993. Aspek-aspek hukum mengenai Yayasan di Indonesia. Varia Peradilan TahunIX. No.98 Nopember 1993.hal. 89

[4] Ibid

[5] F.B.G.Tumbuan. Perseroan Terbatas dan Organ-organnya. Makalah. Hal.3

Jumat, 08 Agustus 2008

KEADILAN HUKUM VS KEPASTIAN HUKUM

Keadilan dapat dipahamkan sebagai suatu keadaan jiwa atau sikap. Pendapat orang yang berada di belakang konsep sudah mempermasalahkan tentang mentalitas manusia.

Dalam pandangan ini, orang hanya bisa bertindak adil manakala ia memiliki suatu ciri sikap jiwa yang tertentu. Dengan perkataan lain, keadilan bukanlah sesuatu yang bisa di kutak katik melalui logika atau penalaran, melainkan melibatkan seluruh pribadi seseorang. Demikian misalnya Ulpianus yang berpendapat bahwa keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus- menerus untuk memeberikan kepada setiap orang apa yang semestinya untuknya.

Kemudian menurut Bodenheimer, yang dinamakan adil adalah Harus ada persamaan- persamaan dalam bagian yang diterima oleh orang- orang, oleh karena rasio yang di bagi harus sama dengan resiko yang di terima orang-orangnya, sebab apabila orang-orangnya tidak sama maka disitu tidak akan ada bagian yang sama pula, maka apabila orang- orang yang sama tidak menerima bagian yang sama , timbullah sengketa atau pengaduan.

Dengan perkataan lain yang dinamakan adil adalah tidak berat sebelah, dimana tiap orang mendapatkan bagian yang sama. Karena dengan demikian akan menghindari dari timbulnya suatu sengketa atau pengaduan. Sebagaiman hal ini di pertegas berdasarkan konsep John Rawl tentang keadilan adalah sebagai fairness, yang mengandung asas- asas, bahwa orang- orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan- kepentingannya hendaknya memperoleh kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat fundamental bagi mereka memasuki perhimpunan yang mereka hendaki.

Sedangkan menurut Roscoe Pound keadilan dikonsepkan sebagai hasil- hasil konkrit yang bisa di berikan kepada masyarakat. Dimana menurut Roscoe Pound, bahwa hasil yang diperoleh itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan manusia sebanyak- banyaknya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Yang mana dengan kata lain semakin meluas/ banyak pemuasan kebutuhan manusia tersebut, maka akan semakin efektif menghindari pembenturan antara manusia.

Jadi Keadilan adalah ukuran yang kita pakai dalam memberikan perlakuan terhadap objek diluar dari kita. Objek yang diluar dari kita ini adalah manusia, sama dengan kita. Oleh karena itu ukuran tersebut tidak dapat di lepaskan dari arti yang kita berikan kepada manusia, tentang konsep kita kepada manusia. Bagaimana anggapan kita tentang manusia, itulah yang membawakan ukuran-ukuran yang kita pakai dalam memberikan perlakuan terhadap orang lain. Apabila manusia itu kita anggap sebagai mahluk yang mulia, maka perlakuan kita kepadanya pun akan mengikuti anggapan yang demikian itu dan hal ini akan menentukan ukuran yang akan kita pakai dalam menghadapi mereka.

Bertolak dari berbagai rumusan keadilan sebagaimana di uraikan di atas, maka Aristoteles dalam bukunya “Rhetorica” mengatakan bahwa tujuan dari hukum adalah menghendaki keadilan semata- mata dan isi dari pada hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang di katakana adil dan apa yang dikatakan tidak adil.

Menurut teori ini hukum mempunyai tugas suci dan luhur ialah keadilan dengan memberikan kepada tiap- tiap orang apa yang berhak ia terima serta memerlukan peraturan tersendiri bagi tiap- tiap kasus. Untuk terlaksananya hal tersebut, maka menurut teori ini hukum harus membuat apa yang dinamakan “Algemeene Regels” ( peraturan/ ketentuan umum). Dimana peraturan/ ketentuan umum ini diperlukan masyarakat demi kepastian hukum.

Kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat karena kepastian hukum ( peraturan/ ketentuan umum) mempunyai sifat sebagai berikut :

a. Adanya paksaan dari luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas mempertahankan dan membina tata tertib masyarakat dengan perantara alat- alatnya.

b. Sifat Undang- Undang yang berlaku bagi siapa saja.

Kepastian hukum ditujukan pada sikap lahir manusia, ia tidak mempersoalkan apakah sikap batin seseorang itu baik atau buruk, yang diperhatikan adalah bagaimana perbuatan lahiriahnya.

Kepastian hukum tidak memberi sanksi kepada seseorang yang mempunyai sikap batin yang buruk, akan tetapi yang di beri sanksi adalah perwujudan dari sikap batin yang buruk tersebut atau menjadikannya perbuatan yang nyata atau konkrit.

Namun demikian dalam prakteknya apabila kepastian hukum di kaitkan dengan keadilan, maka akan kerap kali tidak sejalan satu sama lain. Adapun hal ini di karenakan di suatu sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan prinsip- prinsip keadilan dan sebaliknya tidak jarang pula keadilan mengabaikan prinsip-prinsip kepastian hukum.

Kemudian apabila dalam prakteknya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, maka keadilan lah yang harus diutamakan. Alasannya adalah bahwa keadilan pada umumnya lahir dari hati nurani pemberi keadilan sedangkan kepastian hukum lahir dari sesuatu yang konkrit.

Kamis, 24 Juli 2008

KADO ISTIMEWA MENJELANG PILKADA

by:

Yahya Ahmad Zein

Salah satu elemen yang penting sistem negara yang demokratis adalah peran serta masyarakat dalam penentuan mengenai siapa yang akan menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam suatu wilayah melalui mekanisme Pilkada Secara Langsung, hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting bagi masyarakat. Apalagi, dalam masyarakat Indonesia yang sebagian terbesar masih dipengaruhi oleh kultur yang masih mengantungkan harapan kepada sosok figur kepala daerah dalam rangka menciptakan perbaikan atau perubahan dalam tatanan kehidupan mereka. Lantas Jika Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara lansung ini diklasifikasikan sebagai salah satu jenis partisipasi rakyat dalam politik, maka pertanyaannya adalah, apakah Pilkada secara lansung akan memberikan konstibusi bagi perkembangan dan pertumbuhan masyarakat ke arah yang lebih baik dari masa sebelumnya, Hal ini seakan bertolak belakang dengan salah satu perkembangan signifikan dalam perjalanan Pilkada di Indonesia umumnya dan khususnya di Kal-Tim dan tidak menutup kemungkinan juga akan terjadi di Tarakan tahun 2008 ini, ialah masih diwarnainya Pilkada dengan berbagai macam hambatan baik berupa kecurangan-kecurangan dan politik uang yang di lakukan.

secara umum hambatan-hambatan ini dikelompokkan menjadi beberapa hal yakni :

1. Hambatan Struktural, yaitu hambatan yang bersumber dari praktik-praktik penyelenggaraan Pengawasan dalam Pilkada yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi: belum berfungsinya fungsi pengawasan secara efektif serta lemahnya sistem pengendalian intern yang memiliki korelasi positip dengan berbagai penyimpangan dan inefesiensi dalam penyelengaraan Pilkada

2. Hambatan Kultural, yaitu hambatan yang bersumber dari kebiasaan negatif yang berkembang di masyarakat. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi: masih adanya ”sikap mudah mengagumi seseorang” hanya dengan iming-iming sesuatu. serta sikap permisif (masa bodoh) sebagian besar masyarakat dengan Pilkada tersebut.

3. Hambatan Instrumental, yaitu hambatan yang bersumber dari kurangnya instrumen pendukung dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang membuat penanganan kecurangan-kecurangan di Pilkada tidak berjalan sebagaimana mestinya.

4. Hambatan Manajemen, yaitu hambatan yang bersumber dari diabaikannya atau tidak diterapkannya prinsip-prinsip manajemen yang baik (komitmen yang tinggi agar pilkada dilaksanakan secara adil, transparan dan akuntabel) yang membuat Pilkada di beberapa daerah tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Sekalipun Pilkada Tarakan secara lansung yang akan berlangsung beberapa bulan mendatang direspon dengan antusias oleh masyarakat, namun dibalik antusias itu terkandung suatu “uji coba” bagi perkembangan dan pertumbuahan politik di Kota Tarakan. Artinya, prospek Pilkada langsung sebagai salah satu instumen demokrasi apabila tidak berjalan sesuai prinsip-prinsip Jujur,Adil dan Transparan serta Akuntabel, maka Dalam konteks ini Pilkada langsung di Tarakan akan dianggap gagal dalam memberikan konstribusi bagi perkembangan dan pertumbahan pemerintahan local pada satu pihak dan pada perkembangan dan pertumbuhan politik local dilain pihak.

Sejujurnya sangat sulit untuk menjawab pertanyaan, apakah Pilkada secara lansung yang akan di lakukan di Tarakan tahun 2008 ini akan memberikan konstibusi bagi perkembangan politik lokal dan pertumbuhan masyarakat ke arah yang lebih baik , hal ini dikarenakan setidaknya karena Pilkada lansung yang akan berlansung Oktober mendatang baru untuk yang pertama kali di lakukan di Tarakan. Meskipun bulan Mei tahun 2008 yang lalu kita telah memiliki pengalaman akan suatu Pemilu lansung dalam pemilihan Gubernur di Kal-Tim, tetapi mungkin dalam beberapa hal terdapat corak yang berbeda dan perspektifnya juga berbeda dengan Pilgub.

Mengakhiri tulisan ini ada beberapa pilihan model sebagai “kado istimewa” menjelang Pilkada Tarakan untuk kita, berkaitan dengan Pilkada yang bagaimana ingin kita lakukan dan kita capai :

Pertama, Pilkada berjalan lancar dan tanpa konflik, Kepala daerah yang terpilih dalam memimpin dan menjalankan tugas-tugas pemerintah daerah sesuai sebagaimana yang diharapkan rakyat –kebijakannya mengakomodir kepentingan publik--, maka sebenarnya Pilkada lansung berhasill secara subtantif dan dalam arti formalitas demokratis.

Kedua, Pilkada berjalan lancar dan tanpa konflik, tetapi Kepala daerah yang terpilih dalam memimpin dan menjalankan tugas-tugas pemerintah daerah tidak sebagaimana yang diharapkan rakyat –kebijakannya mengecewakan publik--, maka sebenarnya Pilkada lansung gagal secara subtantif dan hanya sukses dalam arti formalitas demokratis.

Ketiga, Pilkada berjalan lancar dan tanpa konflik, tetapi pemilih dihadapkan pada calon yang sesungguhnya tidaklah yang diharapkan rakyat, dan mereka memberikan suaranya karena tidak ada pilihan lain, maka Pilkada lansung gagal secara aspiratif dan kemungkinan melahirkan kekecewaan yang luar biasa ditengah masyarakat, ketika sang Kepala daerah terpilih tidak segera menyadari bagaimana aspirasi rakyat yang sebenarnya.

Keempat, Pilkada berlangsung disertai dengan konflik, maka Pilkada lansung menambah runyamnya krisis politik local sebagaimana halnya dengan berbagai peristiwa yang terjadi pada waktu pemilihan kepala Daerah di beberapa daerah seperti di Maluku Utara yang sampai saat ini masih belum bisa terselesaikan.

Kelima, Dalam Penentuan Kepala daerah terpilih terjadi kecurangan, maka Pilkada berpotensi melahirkan konflik local yang dapat mengganggu jalannya pemerintahan daerah untuk waktu yang mungkin saja bisa lama.

Keenam, Pilkada berjalan lancar dan tanpa konflik, tetapi setelah calon terpilih diperoleh dan ternyata kemudian persyaratan sang calon terpilih ditemukan persoalan hukum, maka akan terjadi versus antara fakta politik dan fakta hukum.

Rabu, 09 Juli 2008

MASALAH YURIDIS PENETAPAN KAWASAN HUTAN

By.
Yahya Ahmad Zain, S.H.MH
Marthin Balang, S.H.,M.Hum.
Abd. Galib, S.H.M.Hum

Pendahuluan
Pembangunan kota agar menjadi hunian yang menyenangkan dan memberi kemudahan bagi semua warganya merupakan kegiatan kabupaten/kota di Kalimantan Timur bagian Utara. Apalagi hampir semua ibukota kabupaten/kota tersebut belum representatif. Pembangunan yang dilakukan pemerintah dibarengi oleh semua warganya mengakibatkan tekanan terhadap lingkungan semakin berat. Kadangkala selesainya pembangunan suatu proyek mendatangkan kerugian pada hasil pembangunan sebelumnya.
Penetapan kawasan hutan seperti Hutan Kota Tarakan merupakan salah satu upaya dan sekaligus kebutuhan yang sangat esiensial, apabila dikehendaki sebuah kota yang berwawasan lingkungan. Lingkungan kota yang baik merupakan dambaan bahkan hak setiap warganya.
Hal tersebut diwujudkan dengan dibuatnya Peraturan Daerah. Ada beberapa tempat yang ditetapkan sebagai kawasan hutan Kota yang dengan mudah kita lihat baleho disekitar kampus Borneo ini dan tempat-tempat lainnya.
Ternyata selama ini selalu mendatangkan masalah. Dari pihak pemerintah kota, dapat disebutkan permasalahan itu seperti perambahan hutan atau pembukaan tanah/lahan dengan merintis dan menebang pohon tanpa ijin atau tanpa hak. Ada banyak penjarah hutan yang divonis bersalah terhadap pelanggaran tersebut. Walaupun demikian di depan kita dapat dilihat bekas tebasan yang sudah menguning, menunjukkan bahwa masyarakat masih atau terus merambah dan membuka hutan.
Hal demikian ini mengundang tanya bagi kita, apa masalahnya? Kajian mengenai hal tersebut tentu telah banyak dilakukan baik sebelum maupun sesudah perda mengani hal tersebut ditetapkan.
Karena itu kami mengajukan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut :
Bagaimana status tanah dalam kawasan hutan kota Tarakan?
Bagaimana mekanisme penetapan kawasan hutan tersebut dilakukan?
Untuk mejawab permasalahan tersebut dilakukan pembahasan dengan pendekatan yuridis normatif dengan menginventarisir masalah hukum dan non hukum kemudian membuat penjelasan mengenai permasalahannya. Sehingga dapat dilakukan tindakan lebih lanjut untuk memecahkan masalah-masalah tersebut.

Penetapan kawasan hutan kota Tarakan
Peraturan dibuat dengan tujuan sebagaimana tujuan hukum pada umumnya adalah ketertiban, kepastian, dan dengan keadilan. Kemudian oleh Mochtar Kusumaatmadja, ditambah bahwa tujuan hukum juga sebagai sarana perubahan masyarakat.
Tekanan terhadap eksistensi hutan di pulau Tarakan ini, nampaknya terutama karena pertambahan penduduk. Hutan yang ada menjadi sasaran karena, adanya hutan yang tampak sebagai hutan (hutan negara). Sesuatu yang memberikan nilai ekonomis dan pekerjaan yang paling praktis. Hal ini berkembang terus dan mengancam hutan-hutan yang ada. Karena itu perlu adanya sisa hutan itu untuk kepentingan non ekonomis tersebut.
Perlu ditetapkan kawasan hutan tertentu. Hal ini selain merupakan perintah Undang-undang juga merupakan tugas Pemerintah Daerah. Yang pada intinya sebagaimana peranan Hukum Administrasi Negara pada hakikatnya, Pertama, memungkinkan administrasi negara menjalankan tugas, Kedua, melindungi warga terhadap sikap-tindak administrasi negara dan juga melindungi administrasi negara itu sendiri.
Suatu kawasan hutan diperlukan untuk memenuhi kreteria minimal yang harus dipenuhi kota dalam melakukan pembangunan kota yang sedang dilaksanakan. Dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan, “Untuk kepentingan pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air, di setiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota.” Selanjutnya untuk pengukuhan suatu kawasan hutan perlu dilakukan melalui proses sebagai berikut : a. penunjukkan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan, dan penetapan kawasan hutan. (Pasal 15).
Mekanisme ini tentu untuk memberikan kepastian terhadap batas hutan kota, agar tidak diganggu atau mengganggu hak orang. Berikutnya dalam penjelasan Pasal demi Pasal dari pasal tersebut dimuka bahwa, “Hutan kota dapat berada pada tanah negara maupun tanah hak di wilayah perkotaan dengan luasan yang cukup dalam suatu hamparan lahan.” Dari bunyi pasal dan penjelasan pasal tersebut bahwa hutan kota dapat di atas tanah negara atau tanah hak.
Untuk jelasnya dapat dikemukakan skemanya sebagai berikut :

Skema Permasalahan Hukum Kawasan Hutan Kota

1. Status Tanah dalam kawasan hutan kota
Kawasan hutan ada di atas tanah : a. Negara
b. Tanah hak.
Pada tanah negara tidak ada masalah hukum.
Pada Tanah hak adalah bagaimana perjanjian/kesepakatan yang dilakukan :
1) Melepaskan hak – ganti rugi
2) Tidak melepaskan hak – berarti bersedia mengolah tanahnya dengan memperhatikan fungsi hutan, namun dengan kompensasi.

2. Mekanisme Penetapan kawasan hutan kota
Penetapan Kawasan Hutan melalui langkah-langkah
a. penunjukkan kawasan hutan,
b. penataan batas kawasan hutan,
c. pemetaan kawasan hutan, dan
d. penetapan kawasan hutan.
Untuk penetapan kawasan hutan ini berarti jelas luasnya dan jelas batasnya.

Melihat status tanah dan mekanisme penetapan kawasan hutan sebagaimana diuraikan dalam skema di atas maka dapat dilihat pada setiap bagian atau tahap memerlukan suatu keputusan atau perbuatan hukum tertentu untuk menyelesaikannya. Di samping itu dapat juga diketahui pada keadaan mana kecenderungan masyarakat untuk melakukan suatu kegiatan/perbuatan yang mungkin dapat dikatagorikan sebagai perbuatan melawan hukum.

Permasalahan pada status hak atas tanah
Kawasan hutan kota pada tanah hak memerlukan suatu penyelesaian dalam arti apakan dengan melakukan pelepasan hak atau tidak. Apabila dilakukan pelapasan hak tentu akan diukti dengan ganti rugi. Mengenai pembebasan tanah oleh pemerintah untuk kepentingan umum melalui suatu mekanisme tertentu oleh suatu panita yang ditunjuk khusus untuk itu.
Dengan demikian setelah pelepasan hak, maka terhadap pengawasan dan pemeliharaan dan rehabiltasi dilakukan oleh pemerintah sendiri. Dalam hal ini tidak akan menimbulkan masalah benturan hukum.
Kawasan hutan yang tidak dilepaskan tetapi disyaratkan akan melaksanakan keadaan sebagai mana fungsi hutan yang ditentukan memerlukan perjanjian. Karena hak dari pemilik hak tersebut dibatasi maka akan menuntut suatu perjanjian kompensasi, karena pemilik hak tersebut tidak sebebas sebelumnya untuk menentukan yang paling menguntungkan baginya. Apabila hal ini dapat tercapai, sebenarnya pemerintah tidak perlu repot lagi memelihara dan melakukan reboisasi/penghijauan kecuali pengawasan pelaksanaan hal tersebut. Selebihnya pemegang hak tersebut dapat mengawasi sekitarnya, sebagai tetangga.
Permasalahan pada Kawasan Hutan Kota di atas tanah negara dalam arti hutannya masih tampak hutan liar, adalah dapat mengundang perambah, siapa tahu disitu belum ada yang garap? Atau tidak bisa baca apa kata baleho tersebut? Hal ini nampaknya sepele, namun disitu permasalahan bagi masyarakat yang haus akan lahan.
Permasalah hukum lebih banyak terhadap Tanah hak. Hak atas tanah menurut hukum agraria disebutkan terdiri dari : Hak milik, hak guna-usaha, hak guna- bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53. (Pasal 16 UU.No, 5 Th.1960).
Terhadap hak-hak yang jelas tersebut tidak ada kesulitan, sesuai dengan status hak tersebut. Perihal hak membuka tanah merupakan suatu kenyataan yang sulit untuk ditetapkan masuk dalam katagori tertentu. Apakah harus dengan bukti tertulis? Atau adalah cukup saja bukti fisik yang memberikan tanda bahwa di atas tanah tersebut ada kegiatan membuka tanah? Pemerintah dalam mengahadapi masalah tersebut memerlukan kebijakan. Namun umumnya agar permasalahan tidak berkembang lebih jauh dan menghambat biasanya dengan memberikan ganti rugi terhadap kerja membuka tanah tersebut. Karena terhadap tanah tersebut tentu juga dilakukan kegiatan untuk membersihkannya dan menggunakan biaya.
Bagi masyarakat hak membuka tanah/hutan merupakan hak yang dapat dan boleh dilakukan. Pandangan ini tentu mendasari kegiatannya terhadap pembukaan hutan. Berhadapan dengan masalah ini yang dapat dilakukan adalah, sebagaimana yang dilakukan Pemda, penerangan hukum dan penyuluhan hukum.

Permasalahan pada penetapan kawasan hutan
Kegiatan penetapan kawasan hutan ini merupakan suatu kegiatan yang memberikan kepastian berapa luas kawasan hutan, panjang lebarnya, apakah meliuk-liuk sesuai dengan lereng gunung sebagaimana yang seharusnya ditetapkan. Penetapan kawasan hutan itu berarti berbatasan dengan tanah hak siapa, di atas tanah hak berapa meter dan letaknya di mana. Hal tersebut memberikan kepastian. Kepastian terhadap kawasan hutan kota, kepastian hak atas tanah perbatasannya. Untuk itu ada tandanya. Penetapan tanpa memberikan tanda akan membingungkan sekaligus membuat ketidakpastian. Hal demikian mengundang masalah.
Menetapkan batas mudah untuk diucapkan namun memerlukan biaya yang sangat besar, hal ini yang nampaknya menjadi hambatan. Apalagi agar lebih aman harus dipagar. Dalam hal inilah permasalahan hukum yang menjadi kendala.


C. Penutup
Kesimpulan
1. Kawasan hutan kota merupakan suatu keharusan menurut peraturan perundang-undangan tentang lingkungan.
2. Penetapan kawasan Hutan Kota Tarakan diperlukan dan ini dibuktikan dengan adanya perda tentang hal tersebut.
3. Dalam implementasinya perda tersebut mengalami hambatan yang serius baik dari penetapan kawasan maupun kesadaran hukum masyarakat tentang eksistensinya.
4. Ada beberapa hal yang perlu diselesaikan dalam setiap tahap pelaksanaan peraturan agar memberikan jaminan hukum bagi semua pihak.

Saran-saran
1. Perlu dicari penyelesaian pada setiap tahap tersebut dengan memperhitungkan semua keterlibatan kegiatan pembangunan.
2. Kebijakan dengan mengikut sertakan masyarakat dalam tanggung jawab dalam merealisasi kawasan hutan kota.
3. Mengikutkan sertakan Lembaga Penelitian dalam memecahkan masalah sosial yang ada.

Daftar Pustaka

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masayarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta Bandung, 1976.

Sjachran Basah, Perlindungan Hukum terhadap sikap-tindak Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1992.

Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Peraturan Daerah.

Selasa, 08 Juli 2008

KUNJUNGAN KERJA DAN MORAL POLITIK

By
Yahya.Ahmad.Zein

Jika kita coba melihat dan meresapi situasi dan kondisi Indonesia di masa kini, tidaklah berkelebihan kalau kita menyimak perkataan J.E. Sahetapy dalam tulisannya pada tahun 2003 yang lalu “dikatakan tanpa menjadi kasar dan tidak bermaksud melecehkan, bahwa negara kita ini ibarat "Rumah Sakit Gila" yang dihuni oleh sebagian orang yang sudah "gila" (gila kekuasaan, KKN, pangkat dan jabatan). Sebagian penghuni sudah setengah "gila" karena keinginan, ambisi yang ambisius tidak tercapai sehingga berperilaku dan berpikir yang tidak lagi rasional. Ada pula penghuni yang mengalami "depresi" dan sudah pada tahap fatalistik, karena bingung melihat gejolaknya kejahatan yang sadistik, KKN ibarat kanker yang tengah merajalela dengan ganas. Sebagian penghuni lain seperti sudah kehilangan akal, karena melihat orang-orang yang begitu tekun menjalankan ibadah agamanya, tetapi kalau diamati dengan cermat seperti orang-orang atheis yang tidak berperikemanusiaan, yang a-moral, tetapi justru mereka berdalih sebagai penyelamat dunia ini.

Situasi kepemimpinan (eksekutif, legislative) di Indonesia tengah mengalami kegundahan yang sangat meresahkan publik, bukan hanya dalam lingkup nasional, tapi juga ternyata dalam lingkup daerah, fenomena ini dapat kita lihat dari kebingungan masyarakat yang melihat tingkah pemimpin yang menjawab setiap permasalahan dengan melakukan kunjungan kerja dimana seolah-olah persoalan daerah dapat di selesaikan hanya dengan melakukan kunjungan kerja yang menghabiskan dana tidak sedikit. Sebenarnya, fenomenon ini hanya merupakan satu dari sekian banyak faktor yang menyebabkan bangsa Indonesia harus terengah-engah dan terlunta-lunta untuk menegakkan dirinya sebagai suatu bangsa yang layak untuk dihormati dalam komunitas internasional.
Tidak tahu Sejak kapan,yang jelas bukan sejak jaman batu, masyarakat Indonesia digiring ke suatu pola pikir tertentu dan dibina untuk menjadi manusia munafik, yang merasa bahagia dalam melakukan pembohongan-pembohongan public menjadi berambisi atau sangat ambisius atas nama kepentingan rakyat, Rasa malunya seperti sudah dimatikan. Orang dilatih untuk selain menjadi panutan dan tidak boleh berpikiran lain. Semangat retorika yang kosong dan wacana hura-hura ternyata tumbuh subur bak jamur di musim hujan.
Bagi penyelenggara kekuasaan Negara, termasuk yang tidak masuk dalam jajaran birokrasi maupun yang masuk dalam jajaran politik, nampaknya harus sadar bahwa mereka adalah pelayan masyarakat (public servant) yang bertugas untuk memberikan services yang terbaik untuk rakyat, bukan untuk diri sendiri atau kelompoknya. Lembaga legislatif yang merupakan representasi dari rakyat yang dibentuk melalui instrumen partai politik seharusnya berorientasi pada kepentingan rakyat dan kebutuhan rakyat, serta penyelenggaraan kekuasaan negara dalam menjalankan tugasnya sudah selayaknya bersifat transparan, obyektif dan tegas,karena mau tidak mau secara perlahan-lahan masyarakat juga akan mengetahui dan tidak menutup kemungkinan masyarakat akan kehilangan kepercayaan.
Hal yang disebut terakhir ini merupakan konsekuensi logis yang pasti akan terjadi apabila lembaga yang merupakan representasi dari rakyat ternyata tidak mau peduli terhadap aspirasi rakyat bahkan selalu mencari alasan-alasan pembenar yang notabenenya hanya upaya menutupi realita sebenarnya.
Akhirnya ada baiknya kita resapi kembali apa yang pernah dikatakan Mahatma Gandhi bahwa "The things that will destroy us are: politics without principle, pleasure without conscience, wealth without work, knowledge without character, business without morality, science without humanity, and worship without sacrifice". Hal-Hal yang akan menghancurkan [kita/kami] adalah: politik tanpa prinsip, kesenangan tanpa suara hati, kekayaan tanpa pekerjaan, pengetahuan tanpa karakter, bisnis tanpa kesusilaan, ilmu pengetahuan tanpa ras manusia, dan memuja tanpa pengorbanan".

Senin, 07 Juli 2008

Negeri Antah Berantah


Gbr.Eko Presetyo

Minggu, 06 Juli 2008

KEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM

Negara Indonesia adalah Negara berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan, demikian sebagaimana di tegaskan Undang-Undang Dasar 1945, yang berarti bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah nagara hukum ( Recht staat ) yang mana tindakan-tindakan pemerintah maupun lembaga- lembaga lain termasuk warga masyarakat harus berdasarkan hukum.

Cita-cita akan Negara hukum ini adalah selaras dengan perkembangan aliran individualisme, di mana dari dulu orang memikirkan hubungan antara Negara dengan perseorangan (individu). Kita dapat saksikan bahwa cita-cita Negara hukum pada dasarnya sangat di pengaruhi oleh aliran individualisme, dalam dunia barat ide Negara hukum ini telah mendapat dorongan kuat dari Renaisence dan Reformasi. Manusia pribadi meminta penegakan hukum yang lebih banyak. Segala sesuatu ini sebagai reaksi atas kekuasaan tak terbatas yang telah bertambah dari raja-raja yang di kenal dengan zaman absolutisme.
Sehubungan dengan hal tersebut sebagai pribadi manusia pada dasarnya dapat berbuat menurut kehendaknya secara bebas. Akan tetapi dalam kehidupan bermasyarakat, kebebasan tersebut dibatasi oleh ketentuan- ketentuan yang mengatur tingkah laku dan sikap tindak mereka.
Apabila tidak ada ketentuan- ketentuan tersebut akan terjadi ketidakadanya keseimbangan dalam masyarakat dan pertentangan satu sama lain. Dengan pembawaan sikap pribadinya, manusia biasanya ingin agar kepentingannya dipenuhi lebih dahulu. Tanpa mengingat kepentingan orang lain, kepentingan itu kadang- kadang sama tetapi juga tidak jarang terjadinya kepentingan- kepentingan yang saling bertentangan. Apabila keadaan yang demikian itu tidak di atur atau tidak di batasi, maka yang lemah akan tertidas atau setidak- tidaknya timbul pertentangan atau gejolak.
Dengan demikian hukum adalah ketentuan tata tertib yang berlaku dalam masyarakat, dimana hukum tersebut dalam pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bertujuan mendapatkan keadilan dan kepastian hukum.
Keadilan dapat dipahamkan sebagai suatu keadaan jiwa atau sikap. Pendapat orang yang berada di belakang konsep sudah mempermasalahkan tentang mentalitas manusia.
Dalam pandangan ini, orang hanya bisa bertindak adil manakala ia memiliki suatu ciri sikap jiwa yang tertentu. Dengan perkataan lain, keadilan bukanlah sesuatu yang bisa di kutak katik melalui logika atau penalaran, melainkan melibatkan seluruh pribadi seseorang. Demikian misalnya Ulpianus yang berpendapat bahwa keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus- menerus untuk memeberikan kepada setiap orang apa yang semestinya untuknya.
Kemudian menurut Bodenheimer, yang dinamakan adil adalah Harus ada persamaan- persamaan dalam bagian yang diterima oleh orang- orang, oleh karena rasio yang di bagi harus sama dengan resiko yang di terima orang-orangnya, sebab apabila orang-orangnya tidak sama maka disitu tidak akan ada bagian yang sama pula, maka apabila orang- orang yang sama tidak menerima bagian yang sama , timbullah sengketa atau pengaduan.
Dengan perkataan lain yang dinamakan adil adalah tidak berat sebelah, dimana tiap orang mendapatkan bagian yang sama. Karena dengan demikian akan menghindari dari timbulnya suatu sengketa atau pengaduan. Sebagaiman hal ini di pertegas berdasarkan konsep John Rawl tentang keadilan adalah sebagai fairness, yang mengandung asas- asas, bahwa orang- orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan- kepentingannya hendaknya memperoleh kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat fundamental bagi mereka memasuki perhimpunan yang mereka hendaki.
Sedangkan menurut Roscoe Pound keadilan dikonsepkan sebagai hasil- hasil konkrit yang bisa di berikan kepada masyarakat. Dimana menurut Roscoe Pound, bahwa hasil yang diperoleh itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan manusia sebanyak- banyaknya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Yang mana dengan kata lain semakin meluas/ banyak pemuasan kebutuhan manusia tersebut, maka akan semakin efektif menghindari pembenturan antara manusia.
Jadi Keadilan adalah ukuran yang kita pakai dalam memberikan perlakuan terhadap objek diluar dari kita. Objek yang diluar dari kita ini adalah manusia, sama dengan kita. Oleh karena itu ukuran tersebut tidak dapat di lepaskan dari arti yang kita berikan kepada manusia, tentang konsep kita kepada manusia. Bagaimana anggapan kita tentang manusia, itulah yang membawakan ukuran-ukuran yang kita pakai dalam memberikan perlakuan terhadap orang lain.
Apabila manusia itu kita anggap sebagai mahluk yang mulia, maka perlakuan kita kepadanya pun akan mengikuti anggapan yang demikian itu dan hal ini akan menentukan ukuran yang akan kita pakai dalam menghadapi mereka.
Bertolak dari berbagai rumusan keadilan sebagaimana di uraikan di atas, maka Aristoteles dalam bukunya “Rhetorica” mengatakan bahwa tujuan dari hukum adalah menghendaki keadilan semata- mata dan isi dari pada hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang di katakana adil dan apa yang dikatakan tidak adil.
Menurut teori ini hukum mempunyai tugas suci dan luhur ialah keadilan dengan memberikan kepada tiap- tiap orang apa yang berhak ia terima serta memerlukan peraturan tersendiri bagi tiap- tiap kasus. Untuk terlaksananya hal tersebut, maka menurut teori ini hukum harus membuat apa yang dinamakan “Algemeene Regels” ( peraturan/ ketentuan umum). Dimana peraturan/ ketentuan umum ini diperlukan masyarakat demi kepastian hukum.
Kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat karena kepastian hukum ( peraturan/ ketentuan umum) mempunyai sifat sebagai berikut :
a. Adanya paksaan dari luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas mempertahankan dan membina tata tertib masyarakat dengan perantara alat- alatnya.
b. Sifat Undang- Undang yang berlaku bagi siapa saja.
Kepastian hukum ditujukan pada sikap lahir manusia, ia tidak mempersoalkan apakah sikap batin seseorang itu baik atau buruk, yang diperhatikan adalah bagaimana perbuatan lahiriahnya.
Kepastian hukum tidak memberi sanksi kepada seseorang yang mempunyai sikap batin yang buruk, akan tetapi yang di beri sanksi adalah perwujudan dari sikap batin yang buruk tersebut atau menjadikannya perbuatan yang nyata atau konkrit.
Namun demikian dalam prakteknya apabila kepastian hukum di kaitkan dengan keadilan, maka akan kerap kali tidak sejalan satu sama lain. Adapun hal ini di karenakan di suatu sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan prinsip- prinsip keadilan dan sebaliknya tidak jarang pula keadilan mengabaikan prinsip-prinsip kepastian hukum.
Kemudian apabila dalam prakteknya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, maka keadilan lah yang harus diutamakan. Alasannya adalah bahwa keadilan pada umumnya lahir dari hati nurani pemberi keadilan sedangkan kepastian hukum lahir dari sesuatu yang konkrit.
DAFTAR PUSTAKA

Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, 2001, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti.

B.Arif Sidharta, 2000, Terjemahan Jan Gijssels dan Mark Van Hoecke Tentang Apakah teori Hukum Itu, Bandung.

Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti.

R. Soeroso, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika.
Scrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text Generator

Bagaimana Pendapat Anda Tentang Blog ini??

Aq Jadi Ayah

Minggu, 13 Juli 2008 anugerah Allah.S.W.T. yang tiada terhingga telah datang....suka,duka dan bahagia menjadi satu mengisi sanubari yang paling dalam...aq merasa menjadi manusia yang paling bahagia dan semuanya tidak lepas dari untaian ribuan rasa syukur atas kehadirat Allah yang maha perkasa atas nikmatnya kepadaqu...Ya ALLAH jadikanlah aq hamba yang selalu bersyukur kepada mu atas semua nikmat yang kau berikan kepada aq dan keluarga kecilqu yang kini telah sempurna dengan kehadiran si buah hati kami : Nabil Al-Farazy Zein.....Anakqu semoga engkau kelak menjadi anak yang berbakti kepada orang tua dan keluarga...menjadi anak yang cerdas dalam naungan kebenaran dan keadilan...Anak yang selalu menjadi kebangaan orang tua dan keluarga...Amien...Amien.. Ya ALLAH

Buah Hatiqu

Satu Minggu Jadi Ayah

Alhamdulillah...
setelah satu minggu menjadi ayah hanya satu kata untuk mengambarkannya..."Menyenangkan"
melihat perkembangan si kecil Nabil,melihat wajah polosnya yang masih bersih tanpa dosa dan noba setitikpun..........
mengagumi senyuman dan tawanya yang nyaris sempurna tanpa beban sedikitpun,.......
memandanggi mata bundarnya yang sangat indah tanpa cela..............
menikmati tangisannya yang merdu di tengah malam karena haus atau karena pipis.....
aq benar-benar selalu berusaha melihat dengan mata dan hati sungguh-sungguh anugrah ALLAH yang belum tentu dapat dinikmati oleh semua orang yang bernama Ayah....
Semoga......ini semua akan menambah dan memberikan pelajaran yang berharga dalam proses menikmati hidup...Amien...Amien..Ya Rabbal Alamin....

Semangat Baruqu