Minggu, 29 Juni 2008

ADA APA DENGAN BANGSA INI !!!!



By.

Yahya.Ahmad.Zein

Indonesia SUDAH memasuki usia yang cukup tua sebagai bangsa yakni ke 62 Tahun, usia yang cukup ujur jika kita kaitkan dengan usia manusia, usia dimana seharusnya dapat membawa bangsa ini kepada tujuan yang di cita-citakan yakni kesejahteraan masyarakat Indonesia bukan hanya melakukan rutinitas seremonial upacara, panjat pinang, lari karung dll. Usia dimana seharusnya mampu memberikan teladan betapa kedewasaan bangsa ini dalam kejujuran selalu jadi pondasi seluruh elemen masyarakat Indonesia.

kondisi mental dan moral bangsa Indonesia di usia ke 62 saat ini masih berada dalam titik yang menyedihkan. Korupsi telah menjadi “Penjajahan Model Baru” bangsa Indonesia, merasuk hingga ke segala aspek kehidupan bangsa tidak hanya dalam birokrasi tetapi sampai pada perilaku kehidupan sehari-hari. Jika berbicara mengenai pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini, rasanya bagaikan dagelan dalam republik mimpi, karena setiap usaha yang telah dilakukan berakhir “percuma” atau paling-paling terlihat hanya tebang pilih saja.

Berbagai macam Problem bangsa Indonesia Di usianya yang ke 62 ini,mulai dari krisis ekonomi, krisis moral, krisis hukum dan krisis politik yang tak kunjung berakhir perlu ditindaklanjuti seluruh komponen bangsa dengan sikap yang telah di tauladankan oleh para pejuang kemerdekaan yang telah membawa bangsa ini kealam kemerdekaan.dan pengambilan putusan yang tegas, jelas, transparan, dan berani oleh apartat penegak hukum.

Di Usia 62 Tahun ini Indonesia sebagai bangsa yang “besar” ternyata juga masih banyak menyimpan masalah bangsa seperti kemiskinan dan kebodohan. Dengan fakta 36 juta lebih rakyat Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan, dan masih banyaknya anak-anak yang berada pada usia sekolah tidak dapat bersekolah karena kemiskinan merupakan tugas besar bangsa ini yang telah di amanatkan konstitusi Indonesia UUD 1945 sejak Indonesia merdeka (Pasal 34 Ayat 1-4).

Pertanyaan bersar yang harus kita jawab dan menjadi renungan untuk semua elemen bangsa indonesia dalam memasuki Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia yang ke 62 ini adalah Apakah bangsa ini benar-benar sudah merdeka, jika kemiskinan dan kebodohan masih terus menyelimuti anak bangsa??? semua elemen masyarakat Indonesia seharusnya menjadikan ini sebagai tolak ukur bahwa selama kemiskinan dan kebodohan masih menyelimuti bangsa Indonesia maka selama itu pula esensi kemerdekaan belum kita dapat raih” dan harus terus bejuang memeranggi dan membebaskan bangsa ini dari “penjajahan model baru” tersebut.

Salah satunya dengan pemberantasan korupsi yang telah menyebabkan defisit APBN dan beban pajak serta kenaikan harga bahan-bahan pokok yang membebani rakyat dan menyebabkan rakyat miskin terus bertambah jumlahnya. Korupsi,Kemiskinan dan kebodohan itulah yang menjadi musuh besar bangsa Indonesia di usianya yang cukup ujur.

Pemberantasan korupsi yang tidak pandang bulu dan diskriminatif serta berlaku bagi semua orang adalah jawaban yang dinantikan rakyat Indonesia, sudah seharusnya aparat penegak hukum harus berani mengadakan "gebrakan" menyatakan perang terhadap korupsi dengan konsekuensi harus berhadapan dengan teman seperjuangan, pendukung, dan sahabatnya sendiri, karena itulah konsekuensi dari perjuangan jika ingin membawa bangsa ini “Merdeka” dari “penjajahan bentuk baru”.

KEPUTUSAN Presiden No 11/2005 tentang pembentukan TPK (Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) dan pembentukan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) melalui Undang-Undang No 30/2002 seharusnya menjadikan inspirasi dan momentum untuk menunjukkan kepada rakyat Indonesia dan dunia internasional bahwa pemerintahan Indonesia adalah bangsa yang besar dan serius memerangi korupsi yang menjadi salah satu kendala mengapa kita masih menjadi Negara yang “layu sebelum berkembang”.

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi (mengesahkan) Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nations Convention Againts Corruption) Tahun 2003 melalui UU No 7 Tahun 2006. UU ini disahkan pada tanggal 18 April 2006. Dengan ratifikasi ini, maka upaya pemberantasan korupsi di Indonesia mendapatkan “suntikan” kekuatan baru. Kekuatan yang sejatinya semakin memperkuat daya dobrak di tengah kelihaian para koruptor bersembunyi di balik hukum yang tidak tegas.

Sudah seharusnya memberantas korupsi diperlukan aparat penegak hukum yang khusus dilatih untuk membongkar tindak pidana korupsi yang biasanya melibatkan juga tindak pidana pencucian uang (money laundering), pembobolan bank, mark-up, sogok, suap, pungli, conflict of interest, penghilangan bukti, pemalsuan tanda tangan dan lain-lain. Tindak pidana korupsi ini begitu kompleks sehingga diperlukan penanganan khusus oleh aparat penegak hukum yang terlatih, jujur, berintegritas dan professional. Sebagai ujung tombak penegakan hukum, penuntutan para koruptor ini akan member harapan kepada agenda reformasi dalam bidang penegakan hukum yang mutlak diperlukan, mengingat komplikasi perkara korupsi dan oleh karena itu memerlukan keahlian khusus dalam membongkar kejahatan kerah putih ini (white collar crime).

Akhir tulisan ini ada baiknya kita simak kesimpulan buku Confronting Corruption; The Elements of National Integrity System karya Jeremy Pope (2000) ditegaskan bahwa combating corruption is not an end in itself; it is not a blinkered crusade to right all the wrongs of the world. Rather, the struggle against malfeasance is part of the broader goal of creating more effective, fair and efficient government (pemberantasan korupsi bukanlah tujuan akhir. Pemberantasan korupsi bukanlah peperangan suci untuk melenyapkan semua kejahatan di dunia. Lebih dari itu, pemberantasan korupsi adalah perjuangan melawan kejahatan jabatan, dan merupakan bagian dari tujuan yang lebih luas, yakni menciptakan pemerintahan yang lebih efektif, adil dan efisien). Di usia ke 62 Tahun Republik tercinta ini Mari kita renungkan kembali pernyataan ini sebagai upaya sadar membangun komitmen nasional pemberantasan korupsi yang tidak saja dapat menghantarkan Indonesia bermartabat di mata internasional tetapi juga memiliki harga diri di hadapan anak-anak bangsanya sendiri dan demi kesejahteraan masyarakat di bumi pertiwi Indonesia

JAYALAH BANGSAKU…JAYALAH INDONESIA KU…

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN !!!!

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN !!!!
By.
Yahya.Ahmad.Zein

Sebagaimana kita ketahui di Tarakan beberapa hari terakhir ini sedang di hebohkan oleh adanya konsumen yang membeli produk yang notabenenya sudah tidak layak lagi di perdagangkan, hal ini kemudian menimbulkan berbagai macam spekulasi dari masyarakat khususnya berkaitan dengan lemahnya pengawasan dan perlindungan konsumen di Kota Tarakan dari pemerintah.
Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, istilah konsumen diartikan, adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Untuk pengertian perlindungan konsumen sendiri, dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa “perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”.
Sebagaimana pengertian konsumen dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 yang menyebutkan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa, maka yang menjadi objek dari konsumen adalah barang dan/atau jasa. Dalam Pasal 1 angka 4, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 menegaskan bahwa yang dimaksud dengan barang adalah “setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen”.
Barang merupakan hasil produksi dari produsen atau pengusaha, dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 kepada pihak yang memproduksi barang ini disebut dengan pelaku usaha. Pelaku usaha menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah “setiap perseorangan atau badan usaha, baik berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
Rumusan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terhadap pelaku usaha mempunyai pengertian yang luas bahwa tidak hanya para produsen pabrik yang harus menghasilkan barang dan/atau jasa yang tunduk pada undang-undang ini, melainkan juga para rekanan, termasuk para agen, distributor serta jaringan-jaringan yang melaksanakan fungsi pendistribusian dan penawaran barang dan/atau jasa kepada masyarakat luas selaku pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa.( Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Hukum Tentang Perlindungan Kosumen)
Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen, pengusaha dan pemerintah.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen telah memberikan kekuatan hukum bahwa konsumen mempunyai kedudukan yang sama dengan pelaku usaha, karena sebelum ditetapkannya undang-undang ini kedudukan konsumen lebih lemah dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha.
Dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan pada huruf a bahwa konsumen mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan /atau jasa. Artinya bahwa setiap konsumen itu punya hak-hak yang sepatutnya ia dapatkan dari suatu barang/jasa yang dikonsumsinya.
Salah satu hak yang diutamakan dalam konsumen adalah hak untuk memilih barang serta mendapatkan barang-barang tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan, bahwa hak untuk itu adalah hak pokok dari konsumen, dan hal yang demikian diatur dalam Bab III Hak dan Kewajiban Konsumen Pasal 4 huruf b.
Sedangkan dalam Pasal 4 huruf c ditegaskan bahwa konsumen punya hak atas informasi barang yang benar dan jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan atas barang dan/atau jasa yang dibelinya. Ketentuan ini dilanjutkan dengan ketentuan Pasal 7 huruf a bahwa pelaku usaha berkewajiban untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, kemudian dilanjutkan dengan huruf b, bahwa kewajiban dari pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan. Jadi antara kepentingan konsumen berhadapan dengan kewajiban dari pelaku usaha.
Menurut ketentuan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, konsumen memiliki hak sebagai berikut:
  • hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
  • hak untuk memilih barang dan/atau jasa, serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi, serta jaminan yang dijanjikan;
  • hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
  • hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
  • hak untuk mendapat advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
  • hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
  • hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur, serta tidak diskriminatif;
  • hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/ataujasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Dari sembilan butir hak konsumen yang diberikan di atas, terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa dalam penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan konsumen penggunaannya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang yang dikendakinya bersadarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi.
Berkaitan dengan penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan pasal 45 UU Perlindungan Konsumen dapat dilakukan dengan mengunakan mekanisme :
  1. Konsumen dapat mengugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan umum.
  2. penyelesaian sengketa konsumen dapat di tempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan suka rela para pihak yang bersengketa.
  3. penyelesaian sengketa diluar pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana.
  4. apabila telah dipilih penyelesaian di luar pengadilan,gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian diluar pengadilan tersebut tidak berhasil.
Untuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan pemerintah seharusnya membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di Daerah Tingkat II sebagaimana amanat pasal 49 UU No.8 Tahun 1999 sedangkan berkaitan dengan mekanisme hukum pidana maka penuntutan secara pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya, diamana penyidikannya dapat dilakukan leh kepolisian dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dengan tetap mengacu kepada ketentuan yang ada dalam Hukum Acara Pidana.
Semoga Bermanfaat..............................

IMPLEMENTASI KONSEP ORGANISASI ABAD 21 PADA PEMERINTAH DAERAH DALAM PERSPEKTIF PP NO.41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH

By

Yahya.Ahmad.Zein

Perkembangan konsep organisasi secara umum sebagaimana dikemukakan tidak serta merta diberlakukan pada organisasi pemerintahan khususnya organisasi pemerintahan daerah. menurut Kuhn (1976) organisasi pemerintah disusun atas enam asumsi sebagai berikut :

1. Pemerintah adalah organisasi formal yang kompleks ;

2. Pemerintah melingkupi seluruh masyarakat ;

3. Pemerintah secara potensial mempunyai ruang lingkup yang tidak terbatas dalam menentukan perihal keputusan dan pengaruh yang ditimbulkannya ;

4. Afiliasi keanggotaan oleh individu (warganegara) diakui secara otomatis melalui kelahiran dan diakhiri karena kematian ;

5. Pemerintah menjalankan monopoli di dalam pengunaan kekuasaan atau delegasinya atasnya ;

6. Terdapat banyak pendukung pemerintah yang mempunyai tujuan bertentangan sehingga harus dipenuhi oleh kegiatan pemerintah dan memberikan setiap kepentingan yang berbeda cara pemecahannya yang berbeda, apabila berbagai konflik tidak dapat diatasi melalui komunikasi dan transaksi.

Kuhn (1976) selanjutnya mengemukakan bahwa berdasarkan keenam asumsi tersebut organisasi pemerintah dapat dibagi menjadi lima (5) tipe yaitu : Tipe organisasi kerjasama, Tipe organisasi pencari keuntungan, Tipe organisasi pelayanan, Tipe organisasi penekan, Tipe organisasi kombinasi.

Jika kita kaitkan dengan konteks organisasi perangkat daerah seiring dengan di tetapkannya PP No.41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah maka dapat di gambarkan karakteristik umum organisasi perangkat pemerintah daerah sebagai berikut :

1. Bersifat fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing (self renewing system) ;

2. Ada kaitan langsung antara visi,misi dengan bentuk dan susunan organisasi (mission and rule driven organization) ;

3. Memiliki ukuran kinerja yang jelas dan terukur ;

4. Fungsi utamanya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat, sehingga unsur pelaksana (teknis maupun kewilayahan) perlu memperoleh perhatian lebih besar-baik dari segi kewenangan,personil,logistik maupun anggaran ;

5. Orientasi organisasi bergeser dari arah struktural ke fungsional dan dari berbasis kewenangan kepada berbasis kompetensi ;

6. Sistem hirarki menjadi lebih longgar serta rentang kendali ,menjadi tidak beraturan, sehingga pengembangan karir pegawai secara struktural menjadi tidak pasti.

seperti kita ketahui bersama bahwa berdasarkan PP No.41 Tahun 2007 pemerintah daerah diberikan kebebasan untuk menyusun organisasinya sesuai dengan ketentuan PP tersebut yaitu :

1. Berdasarkan kepada kewenangan pemerintah yang diberikan dan dimiliki oleh daerah ;

2. Sesuai karakteristik, potensi dan kebutuhan daerah ;

3. Sesuai kemampuan keuangan daerah ;

4. Sesuai ketersediaan Sumber Daya Aparatur yang dimiliki daerah ;

Sebagaiman ketentuan pasal 51 PP No.41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah maka Pelaksanaan penataan organisasi perangkat daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dilakukan paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.

Selama ini sebelum PP No.41 Tahun 2007 di berlakukan, ditengarai adanya gejala-gejala umum yang kurang menguntungkan antara lain :

1. Pemerintah daerah cenderung membuat organisasi yang besar sehingga tidak efektif dan efisien ;

2. Membuat organisasi untuk menempatkan orang, bukan sebaliknya sehingga organisasinya menjadi gemuk dan tidak berorientasi pada visi dan misi pemerintah daerah ;

3. Pola mutasi dan rotasi yang tidak jelas sehingga tidak ada kepastian karier bagi pegawai negeri sipil ;

4. Kecenderungan adanya politisasi dalam pengisian jabatan-jabatan publik.

Hal tersebut diatas apabila dibiarkan akan merugikan kepentingan masyarakat luas karena sebagian besar dana publik yang di kumpulkan dari pajak, retribusi dan perolehan dari pemanfaatan sumber daya alam milik bangsa sebagian besar habis untuk kepentingan birokrasi. Daerah bersangkutan akan jalan ditempat atau bahkan mengalami kemunduran, berdasarkan kecenderungan-kecenderungan tersebut diatas Pemerintah Pusat kemudian mengeluarkan PP No.41 Tahun 2007 sebagai penganti PP No.8 Tahun 2003, inti dari PP No.41 Tahun 2007 ini adalah :

1. Memberikan kriteria dan tolak ukur pembentukkan organisasi pemerintah daerah berdasarkan parameter yang relatif lebih objektif ;

2. Membatasi jumlah dan jenis organisasi perangkat daerah secara detail dan ketat.

Tentu saja dengan di berlakukannya PP No.41 Tahun 2007 ini membawa dampak dalam pengimplementasiannya di daerah, antara lain semakin berkurangnya jumlah dan jenis organisasi perangkat daerah yang sudah ada, yang pada gilirannya akan menguranggi jumlah dan jenjang jabatan eselonering yang ada, untuk mengantisipasi dampak yang timbul dapat di lakukan beberapa hal :

1. Meningkatkan kualitas pendidikan formal bagi PNS yang mengarah kepada pembentukan kompetensi individual ;

2. Mengembangkan berbagai jabatan fungsional yang berbasis pada keahlian sesuai dengan kompetensi yang dimliki pegawai bersangkutan ;

3. Memberikan penghargaan yang setara antara jabatan fungsional dan struktural sehingga PNS tertarik untuk memangku jabatan fungsional ;

4. Memberikan PNS yang sudah berusia 56 tahun dengan hak pensiun sehingga proses kaderisasi dan regenerasi dapat berjalan dengan baik dan lancar ;

5. Menyiapkan PNS yang berusia 54 tahun dengan pendidikan dan pelatihan teknis yang sesuai dengan bakat dan kemampuannya untuk bekal menghadapi pensiun ;

6. Bekerjasama dengan pemerintah daerah lainnya terutama yang baru dibentuk untuk detasering PNS dalam rangka program pendampingan ;

7. Bekerjasama dengan pihak swasta mengenai kemungkinan penyaluran tenaga PNS dengan kualifikasi teknis tertentu bekerja disektor swasta.

DAPATKAN SEGERA BUKU INI


Hanya Dengan : Rp.35.000,00

Info Pemesanan : HP. 085950075044/E-Mail :yahyazein@yahoo.com

Kamis, 26 Juni 2008

DIMENSI MORAL WAKIL RAKYAT
By
Yahya.Ahmad.Zein

Saat ini dinamika yang terjadi dalam proses percaturan Politik kita ternyata telah berkembang menjadi begitu kompleks. Masalah-masalah yang ada tida hanya berkaitan dengan hukum dan keadilan akan tetapi sudah memasuki tataran moral dan etika, Kasus heboh yang menimpa wakil rakyat “YZ” bukan lagi sekadar masalah teknis-prosedural untuk menentukan apakah suatu perbuatan bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan, atau apakah sesuai atau tidak dengan hukum kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Indonesia.Tetapi lebih jauh, masalah yang terjadi dalam lembaga wakil rakyat adalah seputar bagaimana “mempersiapkan” moral wakil rakyat.

Moralitas dan "fatsoen" atau sopan santun politik hilang tak berbekas seperti disambar kilat. Orasi-orasi gombal di zaman pemilu dijilat kembalii dan dengan rekayasa yang tidak bermoral dan tanpa sopan santun politik semua kaidah demokrasi dijungkirbalikkan. Dan ketika titik-titik apii terselubung dapat kesempatan disiram bensin dengan berbagai isu-isu akhir-akhir ini, para politikus bermoral picisan dan seperti tidak tahu sopan santun menggunakan nama rakyat dalam melegitimasi perbuatan-perbuatan yang notabene nya adalah kepentingan pribadi , tetapi kemudian mulai dialihkan dan diarahkan, seolah-olah tidak terlepas dari kepentngan rakyat.
Orang acapkali bertanya dan mengharapkan kapan semua ini akan berakhir. Apakah para politikus yang seolah-olah “tidak bermoral” dan apakah negarawan-negarawan yang “sok bermoral”, masih mau ikut terus menipu rakyat. Itulah sebabnya Anonymous pernah menulis bahwa "Politicians are like diapers. They should both be changed frequently and for the same reason". Memang, apa yang mau diharapkan dari moralitas politisi, kalau mekanisme control internal sudah tidak bergigi lagi.

Proses menuju demokrasi secara besar-besaran yang berjalan mengiringi proses pertumbuhan tatanan baru bebangsa dan bernegara bukan lagi hanya persoalan eksklusif yang berkaitan dengan perlindungan atas hak milik dari segelintir orang. Yang terjadi dalam masyarakat seperti ini adalah dihadapkannya kenyataan bahwa permasalahan moral politik merupakan permasalahan riil bangsa ini. Di sisi lain, proses tersebut juga menuntut negara dan masyakarat untuk “menanggulangi” distorsi moral politisi yang ada agar tidak terus-menerus menjalar dan menggerogoti seluruh institusi dan infrastruktur pendukung sistim politik Indonesia.
Di negara kita tercinta ini ternyata keluhan publik tentang moral wakil-wakilnya belum memperoleh perhatian wakil rakyat, belum ada mekanisme yang tersedia untuk menampungnya,kecuali dengan demontrasi. Publik yang umumnya masyarakat cilik itu tidak mengetahui kemana atau kepada siapa bisa mengeluh dan bagaimana caranya menyampaikan keluhannya karena sudah sulit untuk menemukan orang yang dapat di percaya; ujung-ujungnya mereka hanya diam meskipun hak-haknya diabaikan oleh wakilnya. Masyarakat cilik yang awam dan miskin yang diam itu sering disebut “sufferers in silence” atau penderita yang diam karena tidak tahu harus berbuat apa.

Salah satu contohnya adalah bahwa pengadilan saat ini tidak lagi berperan sebagai ruang “sakral” di mana keadilan dan kebenaran diperjuangkan, tapi telah berubah menjadi pasar yang menjadi mekanisme penawaran dan permintaan sebagai dasar putusannya. Sedangkan persoalan dan perkara hukum menjadi komoditinya dan keadilan masyarakat serta martabat kemanusiaan menjadi taruhan utamanya Petualang-petualang politik yang tidak jelas asal usulnya, berseliweran di gedung wakil rakyat, entah berapa banyak jumlahnya politikus yang ber masalah dengan “moralnya” biarlah waktu yang menjawab dan Membongkarnya.
Apa yang dikatakan oleh Franklin Roosevelt tentang seorang diktator bahwa "He may be a son of a bitch. But he is our our son of a bitch". Para politisi yang senang berbohong asal tidak tertangkap basah, para negarawan yang tidak berhati dermawan dan para birokrat yang senang berKKN, kiranya sadar bahwa sudah waktunya ada moral dan "fatsoen" (sopan santun) dalam berpolitik. Semoga para politisi bermoral dan santun meskipun dalam jumlah kecil dewasa ini, tetap terpanggil akan gejolak hati nuraninya, semua hendaknya benar-benar sadar, seperti dikatakan Mahatma Gandhi bahwa "The things that will destroy us are: politics without principle, pleasure without conscience, wealth without work, knowledge without character, business without morality, science without humanity, and worship without sacrifice".

Hal-Hal yang akan menghancurkan kita adalah: politik tanpa prinsip, kesenangan tanpa suara hati, kekayaan tanpa pekerjaan, pengetahuan tanpa karakter, bisnis tanpa kesusilaan, ilmu pengetahuan tanpa ras manusia, dan memuja tanpa pengorbanan"Tidaklah berkelebihan kalau dikatakan lagi bahwa politik tanpa moral dan "fatsoen" atau etika akan cendrung menyengsarakan dan menghancurkan masyarakat.

Mengakhiri tulisan ini ada baiknya kita renungkan tulisan Robert M. Pirsing Zen pernah menulis bahwa "When people are fanatically dedicated to political or religious faiths or any other kinds of dogmas or goals, it's always because these dogmas or goals are in doubt". "Rumah Sakit Gila" ini terus diawasi oleh kekuatan besar yang telanjang. Dan Sang Raja, seperti dituturkan di dunia Barat, berkuda keliling tanpa busana, dan semua kawula tunduk dengan perasaan malu dan gemas, dan Raja mengira mereka menghormati Raja, padahal mereka tunduk karena tidak sanggup melihat ketelanjangan Raja.

AWAS TERTIPU DI PILKADA LANGSUNG

by
Yahya.Ahmad.Zein

Sudah sering dikemukakan adanya argumen bahwa untuk melaksanakan sistem pemilihan langsung itu, dibutuhkan persiapan sosial. Misalnya, dipersoalkan sejauhmana rakyat Indonesia di seluruh tanah air benar-benar siap, mengingat tingkat pendidikan yang masih rendah, tingkat kohesi sosial yang dianggap masih sangat rentan, dan budaya perbedaan yang belum berkembang serta panatisme figur yang berlebihan.
Penerapan sistem pemilihan langsung dikhawatirkan justru akan memicu disintegrasi sosial yang luas. Argumen seperti ini jelas sangat merendahkan dan tidak menghargai rakyat sendiri yang sebenarnya justru merupakan pemegang kedaulatan yang tertinggi. Sejak dulu, argumen seperti juga sering dipakai oleh elite politik untuk ”memanfaatkan” rakyat dalam pemilihan umum secara langsung. Sungguh kasihan rakyat kita yang terus menerus berada dalam akal-akalan demi kepentingan politik tertentu, meskipun kita telah merdeka lebih dari setengah abad.

Semua argumen sosio-kultural yang bernada pesimistis seperti ini pada pokoknya mendasarkan diri pada asumsi yang sangat negatif. Rakyat selalu diasumsikan tidak mampu bersikap demokratis dan dapat di ”manfaatkan” dengan money politik dan membarikan janji-janji romantisme bak Romi dan Juliet .
Selama ini, sikap negatif seperti inilah yang selalu dikembangkan, sehingga ide-ide dalam pemilihan umum langsung dimana rakyat sebenarnya dapat menentukan pemimpin sesuai hati nuraninya tenyata selalu gagal diterapkan dalam praktek. Padahal, Pemilu langsung ini sebenarnya dapat dikatakan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih tokoh-tokoh yang memang dapat memperjuangkan aspirasinya. Karena itu, dalam rangka menyongsong PILGUB Kal-Tim dan PILWALI Tarakan yang akan dilaksanakan tidak lama lagi, sikap negatif seperti itu harus diubah menjadi positif. Jika selalu dapat ”dimanfaatkan” oleh kepentingan sesaat elite politik, maka kita tidak akan pernah memberikan kesempatan bagi nurani kita untuk belajar memilih dengan jujur.
Pesimisme sosio-kultural ini juga diperkuat oleh ketakutan bahwa pemilihan langsung itu akan meningkatkan suhu konflik dalam masyarakat, baik di kota-kota maupun terutama di desa-desa sebagai akibat persaingan untuk menokohkan calon-calon yang berbeda-beda di kalangan masyarakat. Apalagi, sebagian besar masyarakat kita hidup di daerah yang sangat luas dan bahkan banyak di antaranya yang berada dalam ketidak pahaman sehingga mudah dimanipulasikan oleh elite. Terhadap kondisi seperti ini sudah saatnya rakyat bersatu untuk sepakat tidak tertipu lagi dalam PILGUB dan PILWALI mendatang oleh elite politik yang selalu menawarkan berbagaimacam hal untuk agenda kepentingannya.

Hal lain yang juga harus menjadi perhatian masyarakat agar tidak ”tertipu” dalam Pilkada langsung adalah bahwa akan terjadinya persaingan yang keras dan tajam, dan tidak tertutup kemungkinan terjadi persaingan yang tidak sehat antarparpol, maka diyakini akan terlihat berbagai akrobat politik saling menjatuhkan di antara parpol peserta pemilu. Bahkan, sebenarnya rakyat akan menjadi sasaran politik tidak sehat itu. Untuk itu pula, dapat dikatakan setiap masyarakat politik, parpol, mempunyai 'musuh' dalam selimut, yakni para warga politik itu sendiri yang hidup bukan demi masyarakat seluruhnya, melainkan menunggangi dan mengibuli masyarakat lewat argumen-argumen politik demi keuntungan dirinya dan kelompoknya. Karena itulah dalam politik selalu terjadi persaingan yang tidak sehat sebagaimana ibarat masyarakat serigala yang dipaparkan oleh filosof Thomas Hobbes lewat adagiumnya, homo homini lupus. Atau persaingan dalam masyarakat politik itu masih seperti layaknya binatang berjuang dan menggunakan instrumen konflik untuk mempertahankan eksistensinya. Sebagaimana dilukiskan sang naturalis Charles Darwin.

Akhirnya semoga Pemilu akan menjadi sebuah pesta demokrasi yang sesungguhnya tatkala semuanya berlangsung penuh etika yang bermuatan nilai nurani dan norma-norma dalam berdemokrasi, sehingga semua elemen masyarakat Kal-Tim dan Kota Tarakan khususnya tidak tertipu dan mampu memilih calon pemimpinnya sesuai dengan hati nurani.

Rabu, 25 Juni 2008

POLITIK DAN KEJAHATAN TERHADAP KEPENTINGAN PUBLIK

by
Yahya.Ahmad.Zein

Ternyata memang ada benarnya apa yg dikatakan seorang teman bahwasannya manajemen politik di negara ini rada-rada aneh,entah apa karena para politisinya yang aneh atau memang sengaja dibuat aneh-aneh.Kenapa demikian?? Selama ini banyak terjadi realitas kesenjangan yang menimpa masyarakat Indonesia padahal mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia kurang mengerti mengapa ini semua terjadi. Pengagguran, PHK masal, kerusuhan, kemiskinan, kelaparan, wabah penyakit. Pemerintah dalam hal ini kurang tanggap dalam mengantisifasi berbagai kesenjangan selama ini dan pemerintah dapat dikatakan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya realitas kesenjangan tersebut.
Hal ini sama seperti yang dikatakan Luwarso (1999 : 23) , Peluruhan kebijakan politik pemerintah yang ternyata tidak konsisten dalam menjalankan dan mewujudkan cita-cita yang terkandung dalam Pancasila itu sendiri hingga terjadilah kesenjangan yang makin lebar antara cita-cita sosial, ekonomi, hukum dan budaya serta realitas faktual.

Penciptaan kesenjangan makin dipercepat oleh ulah politik penguasa yang berkolusi untuk berkorupsi bersama dengan kepentingan kroni-kroninya ((nepotisme), bahwa ada benarnya pernyataan “ kekuasaan ternyata hanya beredar dikalangan elit politiknya saja, bermusyawarah untuk bagi-bagi kekuasaan di kalangan mereka sendiri dengan menyatakan diri sebagai wakil rakyat tetapi mengabaikan kepentingan rakyatnya sendiri, akibatnya kehidupan kemanusiaan kita terkoyak-koyak oleh konflik berkepanjangan dan melahirkan ancaman disintegrasi bangsa.

Saat ini kita tak dapat menutup mata terhadap realitas kesenjangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Pengangguran dimana-mana, Rakyat miskin semakin bertambah, konflik sosial politik yang berbau SARA mengancam kehidupan masyarakat, sedangkan para pejabat negara, konglomerat dan politisi busuk, bermain dalam keadaan yang memprihatinkan ini hanya untuk kepentingan ekonomi mereka masing-masing dengan tujuan untuk menciptakan kesenjangan terpadu agar dapat mencuri kesempatan dalam kesempitan.

Bagaimana mungkin kita yang mengaku berakal sehat tidak dirisaukan melihat negara yang kaya dengan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia ternyata banyak rakyatnya sengsara lahir bathin, Semua ini sesungguhnya berkaitan dengan soal manajemen politik negara. Kita tidak bisa membiarkan perjalanan bangsa ke depan tanpa dasar pijakan yang kuat terhadap pembelaaan nasib rakyat miskin yang selama ini terpinggirkan oleh politik kekuasaan alitenya.

Melihat kondisi yang memuakkan seperti ini mungkin ada baiknya kita coba membuka wacana : bahwa prilaku politik yang cenderung mengabaikan kepentingan masyarakat, adalah kejahatan terhadap kepentingan publik , Sebagai sebuah terminologi, kejahatan terhadap kepentingan publik (crimes against public interest) tidak popular dalam literatur hukum pidana di Indonesia. Kejahatan terhadap kepentingan publik juga tidak dikenal sebagai satu kategori dari jenis kejahatan dalam hukum pidana nasional. Terdapat dua kata kunci yang patut digarisbawahi dalam konsep kejahatan terhadap kepentingan publik, yakni kejahatan (crime) dan kepentingan publik (public interest).
Secara sederhana, kejahatan diartikan sebagai perilaku atau tindakan yang melanggar moral dan hukum yang berlaku. Lebih spesifik lagi adalah pelanggaran terhadap hukum pidana.[1] Sedangkan, kepentingan publik secara harafiah dapat diartikan sebagai hal ikhwal yang dikaitkan dengan urusan, tatanan, harkat martabat, dan hajat hidup orang banyak[2]. Sehingga kejahatan terhadap kepentingan publik dapat dimengerti sebagai tindakan melanggar hukum yang merugikan kepentingan orang banyak dan menyerang martabat publik secara luas.3 Kejahatan terhadap kepentingan publik memiliki watak sebagai bidang hukum yang fungsional. Hal tersebut berarti bahwa kejahatan terhadap kepentingan publik merupakan potongan bidang-bidang hukum klasik dan tersebar dalam peraturan perundang-undangan yang khusus.
Rumusan-rumusan pasal dalam kejahatan terhadap kepentingan publik mempunyai beragam karakter.Konsekuensinya selain terdapat dimensi penegakan hukum melalui pendayagunaan hukum pidana, tetapi juga dilaksanakan melalui sarana kebijakan negara lainnya, seperti hukum administrasi dan mekanisme spesifik sektoral lainnya, termasuk penyelesaian sengketa secara perdata. Selain itu, dalam kerangka penegakan hukumnya kejahatan ini cenderung berhimpitan dengan penegakan hukum administrasi, khususnya berkenaan dengan konteks sanksi-sanksinya. Karakter sanksi administrasi umumnya bersifat reparatif, sedangkan konsep sanksi dalam hukum pidana cenderung retributif.

Karakteristik kejahatan terhadap kepentingan publik secara spesifik dapat dilihat dari sifat dan pelaku tindak kejahatannya. Dari sisi sifat kejahatannya, daya rusak kejahatan terhadap kepentingan publik biasanya memiliki efek yang luas dan besar. Aspek ini mencakup segi kualitas kejahatannya yang menggunakan modus operandi yang kompleks maupun dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan otoritas hukum, politik, ekonomi, dan profesi. Kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan ini secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kerugian yang sifatnya individual maupun yang bersifat massif dan kejahatan yang mengakibatkan kerugian negara. Sementara itu dari aspek pelakunya, kejahatan terhadap kepentingan publik dilakukan oleh orang-orang atau kelompok yang memiliki kekuasaan politik, ekonomi serta akses terhadap teknologi atau pengetahuan tertentu. Tindak kejahatan yang berhimpitan dengan kekuasaan politik biasanya dilakukan oleh pejabat-pejabat publik (crimes commited by public officers). Kejahatan yang berhubungan dengan kekuasaan dan motif ekonomi biasanya dilakukan oleh korporasi maupun oleh individu yang memiliki akses khusus serta terbatas. Kejahatan lainnya dilakukan oleh kaum profesional yang memiliki kompetensi spesifik (kejahatan profesi).

Melihat karakteristik kejahatan terhadap kepentingan publik tersebut maka dalam konteks ini partai politik sebagai salah satu elemen yang mempunyai kekuasaan politik apabila melakukan kebijakan-kebijakan politik yang berorientasi kepada kepentingan partai dan golongan tertentu saja,maka sangat berpotensi sekali melakukan kejahatan terhadap kepentingan publik ini. Sebenarnya, konsep kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan publik tersebut secara tersebar telah mewacana dalam diskursus hukum nasional. Disiplin kriminologi mengenalkan konsep kejahatan kerah putih (white collar crime) sebagai sebuah kejahatan non-konvensional serta memiliki dampak kerugian yang luar biasa. Sebelumnya kejahatan-kejahatan yang tidak dikenal dalam kodifikasi hukum pidana nasional disebut sebagai hukum pidana khusus (delik korupsi dan delik ekonomi). Hukum pidana khusus ini dipahami sebagai pertumbuhan hukum yang mengikuti perkembangan dan perubahan dalam masyarakat. Dalam literatur hukum pidana nasional, kejahatan-kejahatan yang diformulasikan secara tersebar dalam berbagai undang-undang di luar KUHP semakin mengalami perkembangan, seperti : kejahatan lingkungan, kejahatan konsumen dan persaingan curang, kejahatan pencucian uang. Perkembangan selanjutnya disiplin ilmu sosial mulai mengenalkan konsep good governance dan good corporate governance yang sedikit banyak mendorong sistem institusional pemerintahan dan swasta untuk berlaku secara fair dalam menjalankan misinya serta responsif terhadap perkembangan sosial. Konsep tersebut secara faktual menegaskan bahwa institusi pemerintahan dan sektor bisnis/ swasta adalah subyek yang memiliki potensi untuk melakukan tindakan-tindakan menyimpang dan tindak kejahatan dalam konteks jabatannya, karena kekuatan tawar politik dan ekonomi yang besar dan kuat. Selain itu, sistem organisasional dari institusi-institusi tersebut berpeluang pula untuk melindungi kejahatan-kejahatan yang dilakukan.
Dengan demikian sudah saatnya pengembangan konsep kejahatan terhadap kepentingan publik dilakukan dalam rangka menguatkan sistem hukum pidana yang melindungi masyarakat dari kejahatan-kejahatan yang memiliki modus operandi yang kompleks dan canggih serta kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan atau status sosial yang tinggi.



[1] Crime dalam Black’s Law Dictionary didefinisikan sebagai : a positive or negative act in violation of penal law.

[2] Wikipedia memberi batasan definisi public interest : Public interest can also mean more generally what is considered beneficial to the public

MASIH BANYAK KORUPTOR!!

MASIH BANYAK KORUPTOR!!
by
Yahya.Ahmad.Zein

Indonesia baru saja dikejutkan oleh “skandal penyuapan oleh A rtalita.S“ kepada beberapa pejabat Kejaksaan.. Terlepas banyaknya pengelakan terhadap pernyatakan Rokhmin tersebut satu hal yang sangat dirindukan semua elemen bangsa ini adalah adanya pemimpin yang mampu memberikan teladan betapa kejujuran selalu jadi pondasi seluruh elemen masyarakat Indonesia, setinggi apapun ia berada dalam suatu jabatan negara.

kondisi mental dan moral bangsa Indonesia mungkin saat ini masih berada dalam titik yang menyedihkan. Korupsi telah menjadi “Penjajahan Model Baru” bangsa Indonesia , merasuk hingga ke segala aspek kehidupan bangsa tidak hanya dalam birokrasi tetapi sampai pada perilaku kehidupan sehari-hari.

Jika berbicara mengenai pemberantasan korupsi di Indonesia , rasanya bagaikan menggapai mimpi, karena setiap usaha yang telah dilakukan berakhir percuma atau paling hanya bertahan seumur jagung.

Korupsi di Indonesia sudah di anggap sebagai lahan/ jalan masuk bagi seseorang dalam hidupnya untuk mengubah nasib. Malahan sudah lumrah bila pada saat sekarang ini, banyak terdapat istilah-istilah uang pelicin, tanda terima kasih, komisi, pemungutan liar dan lain sebagainya yang sudah dianggap “halal”.

PERNYATAAN Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sedih melihat peringkat RI menurut Transparency International sebagai salah satu negara terkorup di dunia, khususnya di urutan terbawah dari 146 negara terkorup di dunia, dan niatnya menaikkan peringkat RI di bawah urutan ke-100 perlu ditindaklanjuti dengan sikap dan pengambilan putusan yang tegas, jelas, transparan, dan berani oleh apartat penegak hukum.

Indonesia sebagai negara yang termasuk koruptif ternyata masih banyak menyimpan masalah bangsa seperti kemiskinan dan kebodohan. Dengan fakta 36 juta rakyat Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan, ini menjadi tugas besar bangsa ini yang notabenenya tugas kita semua sebagai elemen masyarakat Indonesia untuk memeranggi ini dan membebaskan bangsa ini dari “penjajahan bentuk baru”. Salah satunya dengan pemberantasan korupsi yang telah menyebabkan defisit APBN dan beban pajak serta kenaikan harga bahan-bahan pokok yang membebani rakyat. Korupsi,Kemiskinan dan kebodohan itulah yang menjadi musuh besar bangsa Indonesia saat ini.

Pemberantasan korupsi yang tidak pandang bulu atau tebang pilih dan diskriminatif serta berlaku bagi semua orang adalah jawaban yang dinantikan rakyat Indonesia, sudah seharusnya aparat penegak hukum harus berani mengadakan "gebrakan" menyatakan perang terhadap korupsi dengan konsekuensi harus berhadapan dengan teman seperjuangan, pendukung, dan sahabatnya sendiri, karena itulah konsekuensi dari perjuangan jika ingin membawa bangsa ini “Merdeka” dari “penjajahan bentuk baru”.

Pengakuan dari mantan menteri kelautan dan perikanan serta pengakuan dari Amin Rais seharusnya menjadikan inspirasi dan momentum untuk menunjukkan kepada rakyat Indonesia dan dunia internasional bahwa pemerintahan Indonesia adalah bangsa yang besar dan serius memerangi korupsi yang menjadi salah satu kendala mengapa kita masih menjadi Negara yang “layu sebelum berkembang”.

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi (mengesahkan) Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nations Convention Againts Corruption) Tahun 2003 melalui UU No 7 Tahun 2006. UU ini disahkan pada tanggal 18 April 2006 . Dengan ratifikasi ini, maka upaya pemberantasan korupsi di Indonesia mendapatkan “suntikan” kekuatan baru. Kekuatan yang sejatinya semakin memperkuat daya dobrak di tengah kelihaian para koruptor bersembunyi di balik hukum yang tidak tegas.

Sudah seharusnya memberantas korupsi diperlukan aparat penegak hukum yang khusus dilatih untuk membongkar tindak pidana korupsi yang biasanya melibatkan juga tindak pidana pencucian uang (money laundering), pembobolan bank, mark-up, sogok, suap, pungli, conflict of interest, penghilangan bukti, pemalsuan tanda tangan dan lain-lain. Tindak pidana korupsi ini begitu kompleks sehingga diperlukan penanganan khusus oleh aparat penegak hukum yang terlatih, jujur, berintegritas dan professional. Sebagai ujung tombak penegakan hukum, penuntutan para koruptor ini akan memberikan harapan kepada agenda reformasi dalam bidang penegakan hukum yang mutlak diperlukan, mengingat komplikasi perkara korupsi dan oleh karena itu memerlukan keahlian khusus dalam membongkar kejahatan kerah putih ini (white collor crime).

Akhir tulisan ini ada baiknya kita simak kesimpulan buku Confronting Corruption; The Elements of National Integrity System karya Jeremy Pope (2000) ditegaskan bahwa combating corruption is not an end in itself; it is not a blinkered crusade to right all the wrongs of the world. Rather, the struggle against malfeasance is part of the broader goal of creating more effective, fair and efficient government (pemberantasan korupsi bukanlah tujuan akhir. Pemberantasan korupsi bukanlah peperangan suci untuk melenyapkan semua kejahatan di dunia. Lebih dari itu, pemberantasan korupsi adalah perjuangan melawan kejahatan jabatan, dan merupakan bagian dari tujuan yang lebih luas, yakni menciptakan pemerintahan yang lebih efektif, adil dan efisien). Mari kita renungkan kembali pernyataan ini sebagai upaya sadar membangun komitmen nasional pemberantasan korupsi yang tidak saja dapat menghantarkan Indonesia
bermartabat di mata internasional tetapi juga memiliki harga diri di hadapan anak-anak bangsanya sendiri dan demi kesejahteraan masyarakat di bumi pertiwi Indonesia ..… Semoga

KONTRAK STANDAR/ BAKU PENGEMBANG PERUMAHAN (DEVELOPER) SERTA IMPLIKASINYA PADA ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK

By.

Yahya.Ahmad.Zein

Standar/ baku Pengembang Perumahan (developer) mengandung masalah-masalah yang terdapat di dalam masyarakat (konsumen) dengan berbagai macam bentuk, antara lain:

  1. Perjanjian baku sepihak, yaitu sebagian isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat itu ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat di bandingkan pihak debitur, atau pihak yang lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kollektif.
  2. Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya di tentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai objek hak-hak atas tanah.
  3. Perjanjian baku yang ditentukan dilingkungan notaris atau advokat adalah perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah di sediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan yang bersangkutan.

Di sini terlihat sifat konvektif dan massal dari perjanjian baku. Perjanjian massal ini diperuntukkan bagi setiap debitur yang melibatkan diri dalam perjanjian sejenis itu, tanpa memperhatikan perbedaan kondisi antara debitur yang satu dengan yang lain.
Sehubungan dengan sifat massal perjanjian baku, Anson ( Mariam Darus, 1981:23) menyatakan jika debitur menyetujui salah satu syarat-syaratnya, maka debitur hanya mungkin bersikap menerima atau tidak menerimanya sama sekali, kemungkinan untuk mengadakan perubahan isi sama sekali tidak ada.

Berbeda dengan negara kapitalis, penerapan kontrak standar di Indonesia mencerminkan jiwa nasionalisme bangsanya. Selai itu negara ikut melindungi warganya, bukan hanya pengusahanya melainkan juga konsumennya melalui perundang-undangan dan lembaga peradilan. Kontrak standar yang diterapkan di Indonesia didasari asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, yaitu semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Adapun persetujuan yang dimaksud dengan di buat secara sah ialah segala persetujuan yang memenuhi syarat-syarat sah sebagaimana diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu:
a. Sepakat mereka yang mengikat dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Kalau kita perhatikan dua syarat yang pertama, keduanya adalah syarat yang menyangkut subjeknya, sedang dua syarat yang terakhir adalah mengenai objeknya. Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada subjeknya tidak selalu menjadikan perjanjian tersebut batal dengan sendirinya, tetapi memberikan kemungkinan untuk dibatalkan, sedangkan perjanjian yang cacat dalam segi objeknya adalah batal demi hukum.
Namun dalam hubungan ini, berdasarkan Pasal 1339 KUHperdata suatu persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Dengan demikian setiap perjanjian, diperlengkapi dengan aturan-aturan yang terdapat dalam undang-undang, dalam adat kebiasaan (disuatu tempat dan disuatu kalangan tertentu), sedangkan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan (norma-norma kepatutan) harus juga diindahkan, (Subekti, 1984:39)

Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia.
Pengertian klausula baku berdasarkan Pasal 1 angka (10) UUPK, yaitu: setiap aturan atau ketentuan dari syarat-syarat yang telah di persiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang di tuangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Sudaryatmo (1999: 93), menuliskan secara sederhana perjanjian baku mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Perjanjian dibuat secara sepihak oleh produsen yang posisinya relatif lebih kuat dari konsumen;
2. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian;
3. Dibuat dalam bentuk tertulis dan massal;
4. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh kebutuhan.

Syarat perjanjian baku Pengembang Perumahan (developer) yang sangat menonjol yang perlu mendapat perhatian khususnya dalam implikasinya terhadap asas kebebasan berkontrak adalah yang berkaitan dengan “pembatasan pertanggungjawaban” dari kreditur. Karena syarat ini tidak mencerminkan aspirasi kepentingan debitur, tapi hanya kepentingan kreditur.
Pihak yang banyak dirugikan dengan klausula pembatasan pertanggungjawaban pelaku usaha adalah konsumen, yaitu pemakai terakhir dari barang dan jasa. Konsumen sebagai pemakai terakhir dari barang dan jasa, mempunyai kedudukan yang tidak berdaya menghadapi perjanjian baku yang disodorkan pengusaha.

Klausula Kontrak Standar Pengembang Perumahan (developer) yang dapat merugikan kepentingan Konsumen

Tidak dapat di pungkiri, sekarang banyak kasus perumahan terjadi di masyarakat, yang merugikan pihak konsumen. Misalnya sudah membayar panjar, tetapi realisasi pembangunan sudah bertahun-tahun tak kunjung datang. Malahan ada sementara pengembang hanya memperlihatkan gambar perumahan. Artinya, baru memperlihatkan gambar perumahan, sudah bisa mengeruk uang calon pembeli atau konsumen. Setelah didesak oleh konsumen, ternyata lahan pun belum ada.

Di samping itu pihak konsumen juga tidak mempunyai pengetahuan yang memadai tentang perumahan, terutama bila diperhadapkan pada kontrak standar, yang mana kemampuan konsumen memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan secara baku dan sepihak oleh pengusaha kadang tidak bisa dipenuhi pada saat perjanjian sementara berjalan. Dalam hal ini konsumen harus menerima segala akibat yang timbul dari perjanjian tersebut walaupun itu merugikan konsumen tanpa kesalahannya, lebih celaka lagi, justru yang banyak tertimpa kasus-kasus ini adalah masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah.
Berbagai praktek dalam pembangunan dan pemasaran perumahan, Klausula Kontrak Standar

Pengembang Perumahan (developer) yang dapat merugikan kepentingan Konsumen, antara lain:
1. Penjualan kapling siap bangun yang tidak begitu dipahami konsumen
2. Menjual rumah tanpa ijin
3. Sertifikat yang tidak jelas
4. realisasi fasilitas sosial dan fasilitas umum
5. Iklan yang tidak sesuai dengan realisasi
6. Jasa profesional notaris
7. Pihak perbankan yang cenderung berpihak kepada developer

Akibat dari hal tersebut di atas, maka pengaduan konsumen perumahan kian meningkat karena trik-trik pemasaran yang dipergunakan pengembang seringkali cenderung manipulatif dan potensial menjadi jebakan. Karena itu konsumen harus mengetahui jenis-jenis trik pengembang guna mengantisipasi kemungkinan yang tidak di inginkan. Trik-trik tersebut biasanya terungkap setelah ada pengaduan konsumen melalui surat atau media massa.
Ada beberapa trik yang diterapkan pengembang. Misalnya penawaran perumahan dengan tema lingkungan, padahal konsep yang digembar gemborkan itu hanya digunakan sebagai Marketing gimmic. Tetapi agar konsep tersebut tidak di anggap sekedar trik pasar, pengembang menerapkan konsep tersebut secara abjektif. Artinya pada saat mengklaim proyeknya berwawasan lingkungan dia punya parameter objektif yang kemudian di komunikasikan kepada konsumen. Konsumen punya akses untuk mengontrol apakah pengembang konsisten dengan parameter yang ditetapkan.


DAFTAR PUSTAKA
Mariam Darus, 1981. Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahnnya, Alumni, Bandung.

------------,. Dalam Jurnal Hukum dan Keadilan, 17 Januari-Pebruari 1981
Shidarta, 2000. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Penerbit PT. Grasindo, Jakarta.

Soebekti, 1981. Pembinaan Hukum Nasional, Alumni, Bandung.

------------,1986. Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta.

Sudaryatmo, 1996. Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

------------, 1999. Hukum dan Advokasi Konsumen, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

M. John, Echols, dan Hasan Sadily, 1986, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta : Gramedia.

Adilkah Jika Saya Tidak Lulus?

ADILKAH JIKA SAYA TIDAK LULUS?
By.
Yahya.Ahmad.Zein.

BEBERAPA hari belakangan ini seantero negeri ini tidak terkecuali di Tarakan, mencuat kembali protes-protes tentang sistem yang menentukan kelulusan siswa-siswi tingkat menengah dan tingat atas seiring dengan hasil Ujian Akhir Nasional (UAN) yang masih menyebabkan beberapa siswa-siswi di nyatakan tidak lulus.

Ada fakta yang tidak bisa diingkari, UAN bukan hanya soal hari ini tapi UAN juga sudah jadi problem masa lalu dan terus jadi potensi problem pada periode mendatang. Karakter problemnya bukan hanya bersifat manifes tapi juga bersifat laten dan terjadi di hampir seantero negeri. Ketidakmampuan mengelola masalah pendidikan potensial menuai banyak masalah di kemudian hari. Karena itu, tidaklah mengherankan jika muncul cukup banyak respons atas hasil UAN yang baru saja diumumkan. Tidaklah berkelebihan dan bukan suatu isapan jempol kalau dikatakan bahwa Pemerintah seolah-olah menutup mata atas respons yang buruk dari masyarakat terhadap sistem UAN ini.

Sudah menjadi sesuatu yang biasa di republik ini adalah Di negara kita keluhan publik belum memperoleh perhatian, belum ada mekanisme yang tersedia untuk menampungnya. Publik yang umumnya binggung tidak mengetahui kemana atau kepada siapa bisa mengeluh dan bagaimana caranya menyampaikan keluhannya; ujung-ujungnya tidak sedikit dari mereka yang hanya diam meskipun hak-haknya diabaikan oleh sistem seperti ini.

Ada beberapa isu penting yang muncul dengan sistem kelulusan seperti ini, yaitu: kesatu, ada problematik kebijakan berkenaan dengan bentuk kebijakan yang digunakan untuk mengatasi permasalahan ini; kedua, mungkin ada kepentingan politis tertentu yang menjadi dasar diterbitkannya kebijakan dimaksud; ketiga, potensial problema yang harus dihadapi dengan adanya kebijakan ini.

Sistem Ujian Akhir Nasional yang ditetapkan melalui kebijakan pemerintah ini memakai titel Untuk meningkakan mutu pendidikan di Indonesia sehingga sesuai dengan prinsip-prinsip Pelaksanaan Pembangunan Sumber Daya Manusia Indonesia namun sebagian substansi utamanya berkaitan dengan 3 mata pelajaran yang menjadi penentu Lulus atau Tidaknya seseorang. Pada titik inilah, kebijakan ini menjadi penting diperhatikan karena potensial menimbulkan rasa ketidak adilan bagi sebagian besar orang baik itu anak didik, guru maupun orang tua murid. Apabila kita mengamati dengan saksama,maka pola seperti sebenarnya pola-pola instan yang di gunakan untuk merubah karakteristik yang ada sebelumnya.

Untuk itu timbul pertanyaan, apakah persoalan keterpurukan pendidikan di republik tercinta ini dapat diselesaikan dan diatur hanya melalui ketentuan sistem UAN yang hanya mengantungkan kepada tiga mata pelajaran untuk menentukan lulus atau tidak nya seseorang. Apalagi kalau dikaitkan dengan asfek keadilan yang mensyaratkan adanya proporsional dalam menentukan sesuatu, maka hal tersebut masih harus di pertanyakan kembali.

Logika apapun yang dipakai dalam kebijakan sistem UAN ini seharusnyalah yang diperhatikan secara sungguh-sungguh, adalah apabila suatu kebijakan mengakibatkan tercabutnya hak asasi manusia/ hak warga negara serta kebijakan yang menyebabkan tercabutnya rasa keadilan maka kebijakan tersebut pasti akan menimbulkan respon yang negatif dari masyarakat. Bukan kah dalam Sistem pendidikan seharusnya pemerintah wajib melakukan pemenuhan hak-hak dasar warga negara (publik). Ketiadaan atau kurang memadainya pelayanan publik berarti tidak terpenuhinya hak asasi manusia.

Memang banyak hal yang harus diperbaiki dalam dunia pendidikan di Indonesia, Peran semua elemen dalam mengutamakan kepentingan Sumber Daya Manusia harus ditingkatkan, bukan sekedar kepentingan individu atau golongan. Pemahaman mengenai administrasi pemerintahan masih harus ditingkatkan pula. Bias birokrasi, kekuasaan, politik dan bisnis yang mewarnai kultur pendidikan selama ini, belum sepenuhnya hilang. Berbagai strategi lain mungkin saja dipikirkan, diusulkan dan dikembangkan. Tujuannya bukan sekedar melahirkan wacana, konsep-konsep dan program yang reformatif untuk menuju Dunia Pendidikan yang mampu menciptakan Sumber Daya Manusia yang handal, melainkan juga untuk mendorong perwujudannya.

Akankah pendidikan yang mampu melahirkan Sumber Daya Manusia yang handal di negara kita ini akan terus menjadi wacana. Setiap orang dari berbagai lapisan masyarakat berbicara tentang reformasi dalam kerangka pola berpikir masing-masing, terlepas dari kehidupan kesatuan berbangsa dan bernegara. Para politisi dengan beberapa perkecualian juga perlu ditertibkan pola dan cara berpikir mereka yang rancu, pola berpikir segmental di mana kebenaran seolah-olah hanya kelompok mereka tertentu yang memilikinya.
Yang pasti, Kebijakan UAN ini muncul sebagai bagian dari kebijakan awal pemerintah untuk mengakselerasikan program pembangunan Sumber Daya Manusia di Indonesia ,Yang pasti pula, kebijakan seperti ini juga potensial membuat problematika baru karena sebagai substansinya memang potesial menciptakan masalah. Tidak ada mekanisme yang bisa mengeliminasi potensi problem yang secara inheren tersebut di dalam kebijakan UAN ini. Kesemua itu makin membuat tajam problem Pendidikan kita. Kalau begitu, selamat datang problem Pendidikan.*** wallahualam bissawab
.
Scrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text Generator

Bagaimana Pendapat Anda Tentang Blog ini??

Aq Jadi Ayah

Minggu, 13 Juli 2008 anugerah Allah.S.W.T. yang tiada terhingga telah datang....suka,duka dan bahagia menjadi satu mengisi sanubari yang paling dalam...aq merasa menjadi manusia yang paling bahagia dan semuanya tidak lepas dari untaian ribuan rasa syukur atas kehadirat Allah yang maha perkasa atas nikmatnya kepadaqu...Ya ALLAH jadikanlah aq hamba yang selalu bersyukur kepada mu atas semua nikmat yang kau berikan kepada aq dan keluarga kecilqu yang kini telah sempurna dengan kehadiran si buah hati kami : Nabil Al-Farazy Zein.....Anakqu semoga engkau kelak menjadi anak yang berbakti kepada orang tua dan keluarga...menjadi anak yang cerdas dalam naungan kebenaran dan keadilan...Anak yang selalu menjadi kebangaan orang tua dan keluarga...Amien...Amien.. Ya ALLAH

Buah Hatiqu

Satu Minggu Jadi Ayah

Alhamdulillah...
setelah satu minggu menjadi ayah hanya satu kata untuk mengambarkannya..."Menyenangkan"
melihat perkembangan si kecil Nabil,melihat wajah polosnya yang masih bersih tanpa dosa dan noba setitikpun..........
mengagumi senyuman dan tawanya yang nyaris sempurna tanpa beban sedikitpun,.......
memandanggi mata bundarnya yang sangat indah tanpa cela..............
menikmati tangisannya yang merdu di tengah malam karena haus atau karena pipis.....
aq benar-benar selalu berusaha melihat dengan mata dan hati sungguh-sungguh anugrah ALLAH yang belum tentu dapat dinikmati oleh semua orang yang bernama Ayah....
Semoga......ini semua akan menambah dan memberikan pelajaran yang berharga dalam proses menikmati hidup...Amien...Amien..Ya Rabbal Alamin....

Semangat Baruqu