Minggu, 26 Juni 2011

Mungkinkah Ujian Nasional(UN) Yang Tidak Curang?


Seluruh siswa,guru bahkan orang tua seantero negeri ini tidak terkecuali di Tarakan yang saat ini anaknya akan mengikuti Ujian Nasional  (UN) Untuk jejang Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) akan diselenggarakan pada 18-21 April 2011. Sedangkan untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP)/ Madrasah Tsnawiyah (MTS) akan digelar 25-28 April 2011 mendatang. pasti harap-harap cemas seiring dengan konsekuensi yang paling menakutkan dalam UN yakni dii nyatakan tidak lulus.
Fakta yang tidak bisa diingkari, UN sampai saat ini masih saja di hantui oleh kecurangan-kecurangan. yang secara sengaja dilakukan oleh pihak sekolah, siswa, atau pihak lain yang berkepentingan. Bahkan hal ini kemudian mendapat respon “Ancaman” dari Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh yang akan memberikan sanksi  berupa menghapus nilai ujian nasional (UN)  bagi peserta maupun pihak sekolah yang melakukan kecurangan dengan cara mencontek, kerjasama dengan pihak lain,Untuk itu sudah seharusnyalah dalam pelaksanaan UN kali ini semua komponen pendidikan untuk mawas diri, bertindak objektif, dan jujur dalam pelaksanaan UN.
Sudah saat nya martabat ujian Nasional di sekolah-sekolah kita di tempatkan pada posisi yang terhormat, sudah saatnya sekolah tidak lagi  menjadi ‘barang komersial’ (moralitas pendidikan dan pengajaran amburadul), sudah saatnya tidak berfikir bahwa  ijazah lebih penting dari kecerdasan (ijazah dulu baru ilmu). Sudah saatnya semua komponen pendidikan (Kepala sekolah, guru, siswa, orang tua, Dinas Pendidikan) tidak mengingkari kejujuran dan moralitas sekolah hanya demi prestise lulus 100%, nama, gengsi, dan uang. Dan sudah saatnya pengawasan dan monitoring dilakukan secara objektivif. Jika hal ini yang kita lakukan maka kita akan membawa pendidikan ini, kedalam ketinggian  nilai atau akhlak anak bangsa kita.
Alm. Prof. Nurcholis Madjid sangat menekankan pendidikan nilai. Akhlak adalah segala-galanya. Karena itu, meruntuhkan martabat ujian nasional (UN) dengan kecurangan-kecurangan maka sama artinya dengan menghancurkan pendidikan akhlak. serta merusak pendidikan akhlak, maka apa yang diharapkan Nurcholis seperti: silahturrahmi (pertalian cinta kasih antara sesama manusia), persaudaraan (ukhuwah), persamaan (al-musawah), adil, (seimbang atau balance), baik sangka (husm-u’zh-zhann), rendah hati (tawadlu), tepat janji (alwafa), lapang dada (insyirah); dapat dipercaya (amanah), perwira (‘iffah atau la’affuf), hemat (qawamiyah), dan dermawan (2003: xviii-xxi) akan menjadi sia-sia jika kita tidak  menjalankan  UN dengan nilai-nilai kejujuran  ..., selamat melaksanakan UN dengan Jujur .***..

Selasa, 31 Mei 2011

Kita Butuh Kebijakan Publik Yang Benar!!!!


Salah satu masalah krusial yang mesti dicermati dalam Era Globalisasi dan proses transformasi sosial dewasa ini adalah krisis kebijakan publik yang sering menimbulkan konflik internal dalam institusi pemerintahan itu sendiri maupun konflik eksternal antara pihak pembuat kebijakan dengan masyarakat yang terkena dampak kebijakan tersebut. Kebijakan publik yang semestinya menjadi instrumen sosial dalam mengatur sumber daya ekonomi dan politik demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat banyak sering disalah tafsirkan dan disalahgunakan. Proses penyalahtafsiran dan penyalahgunaan ini dimungkinkan oleh praktek teknokrasi yang kuat (strong technocracy) dalam proses pembuatan kebijakan publik yang cenderung elitis dan tidak transparan sehingga suatu bentuk proses kebijakan publik mebjadi tidak  partisipatif dan tidak mendapat dukungan penuh dari publik.
Pada prinsipnya awal dari Krisis dalam kebijakan publik lahir dari praktek teknokrasi yang sangat sarat dengan muatan positivisme. Positivisme sendiri adalah suatu paham yang berakar pada pemikiran August Comte pada abad 19 yang lalu dikembangkan oleh sekelompok pemikir Yahudi yang tergabung dalam Lingkar Vienna (Vienna Circle) di era antar perang dunia. Lingkar Vienna menerapkan prinsip dan metodologi sains alam yang dianggap sebagai bentuk pengetahuan yang paling "sah" ke dalam bidang filsafat dan sains sosial. Ketika Nazi berkuasa di Eropa daratan, Lingkar Vienna bubar dan para anggotanya menyebar pemikiran-pemikiran positivisme ke institusi akademik luar Eropa, khususnya di negara-negara Anglo-Saxon. Sejak itulah praktek teknokrasi yang berakar pada sistem akademik Anglo-Saxon menerima positivisme sebagai bentuk tunggal dalam melihat permasalahan sosial.
Berangkat dari positivisme, praktek teknokrasi adalah suatu bentuk penggunaan pengetahuan yang rigid oleh para pembuat kebijakan dalam menganalisis masalah sosial dan menyusun kebijakan publik. Muatan positivisme dapat dilihat dari paradigma para teknokrat (pelaku teknokrasi) yang memodelkan permasalahan sosial seakan-akan dia merupakan sebuah entitas yang bersifat rasional. Selanjutnya dalam menyusun kebijakan publik, teknokrat positivisme menggunakan pendekatan sistematis, metodis, terukur, dan bersifat teknis. Jargon positivisme yang melihat pengetahuan sebagai sesuatu yang universal dan bebas nilai pada akhirnya memberi cacat dalam praktek teknokrasi karena muatan positivisme membuat para teknokrat menafikan realitas-realitas sosial yang tidak dapat terdeteksi oleh alat-alat analisis mereka. Salah satu bentuk kritik terhadap praktek teknokrasi positivisme adalah bahwa dunia sosial tidak dapat dipahami semata-mata sebagai obyek fisikal yang dapat terukur, melainkan dikonstruksi oleh sekumpulan makna-makna yang terorganisir dalam sistem sosial. Makna-makna tersebut membentuk cara masyarakat berperilaku dan menginterpretasi dunia di mana mereka berada. Realitas seperti inilah yang tidak masuk dalam kamus para teknoktrat positivisme ketika menyusun kebijakan publik sehingga kebijakan yang dihasilkan dengan mengandalkan asumsi yang rigid dan tuna makna tidak jarang justru menghasilkan masalah. (Fischer, 2001)
            Pengetahuan berbasis positivisme yang dianggap paling sah dalam mencari "kebenaran" membuat para pengambil keputusan yang berada di sistem pemerintahan menggantungkan diri pada praktek teknokrasi yang pada akhirnya memberi posisi elit bagi para teknokrat untuk mengatur sumber daya ekonomi dan politik dalam penyusunan kebijakan public tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat.
Kritik terhadap teknokrasi di atas belum lengkap tanpa melihat lebih dalam mengapa kebijakan publik yang dihasilkan oleh teknokrat sering gagal memenuhi misinya padahal para teknokrat dilengkapi alat analisis yang sangat memadai. Mungkin salah satu permasalahan yang bisa kita telaah dalam konteks analisa terhadap kebijakan public, permasalahan yang sudah lama terjadi yang diakibatkan oleh perbuatan pribadi manusia, lembaga maupun kebijakan yang salah sehingga merusak lingkungan baik langsung seperti membangun rumah yang masuk badan sungai, merubah fungsi daerah tangkapan air menjadi perumahan, penggundulan hutan dan merubah eksisting sungai dan sedangkan tidak langsung dapat berupa kebijakan yang salah dan pengawasan maupun penegakan hukum yang lemah maupun diskriminasi dalam penegakan peraturan mengenai garis sempadan sungai..
Satu hal yang harus kita perhatikan dalam konteks pentingnya kebijakan public yang tidak diskriminasi  dalam mengatasi permasalahan ini adalah bahwa kita memang melakukan kesalahan fatal dan kesalahan fatal tersebut adalah kita selalu sering mencari “Kambing Hitam” yang di jadikan sasaran tembak untuk memberikan jastifikasi sehingga penyelesaiannya pun akan semakin rumit dengan saling tuduh –menuduh sehingga menimbulkan kerawanan sosial yang tinggi di tingkat akar rumput.
Dalam konteks seperti ini ada baiknya kita coba  menyimak framework Lindblom dan Woodhouse (1993) yang meletakkan aktivitas pembuatan kebijakan publik sebagai wacana politik, tidak semata-mata permainan rasio para teknokrat. Lindblom dan Woodhouse mengidentifikasi keterbatasan-keterbatasan analisis para teknokrat dalam menghasilkan kebijakan publik yang applicable. Pertama, analisis para teknokrat sangat rentan terhadap kesalahan karena miskinnya informasi yang merefleksikan realitas sosial. Kalaupun informasi tersebut tersedia, sangat bersifat superfisial atau penuh bias. Kedua, analisis teknokrat sangat potensial dalam menghasilkan konflik nilai dikarenakan dominasi individual atau kelompok tertentu dalam proses pembuatan kebijakan publik. Ketiga, keterbatasan sumber daya waktu dan biaya membuat analisis teknokrat selalu berada dalam determinisme kedua dimensi tersebut. Implikasinya adalah terjadinya reduksi atau simplifikasi analisis atas suatu masalah sosial. Dan keempat, dikarenakan rumitnya struktur masalah sosial, perumusan masalah dalam analisis teknokrat menjadi sangat terbatas karena ketergantungan pada variabel yang hanya terdeteksi oleh alat analisis teknokrat.
Akhirnya dari opini yang singkat ini semoga proses demokratis dalam kebijakan publik memiliki suatu bentuk kecerdasan yang akurat karena adanya proses check and balance yang interaktif antara teknokrat sebagai pembuat konsep dan masyarakat sebagai pengguna. sehingga proses demokratis tersebut dapat menghasilkan analisis yang lebih strategis dan applicable karena adanya sense of belonging dari masyarakat yang turut serta.

Senin, 31 Januari 2011

Konsep Hukum Islam

Dalam kitab-kitab fiqih tradisional pada prinsipnya para pakar hukum Islam tidak mempergunakan kata hukum islam, yang biasa di gunakan adalah istilah  Syariat Islam,hukum syara, Fiqih, syariat dan syara, kata hukum Islam baru muncul ketika orientalis barat mulai mengadakan penelitian terhadap ketentuan Syariat Islam dengan term Islamic Law yang secara harfiah dapat disebut dengan hukum Islam. Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata hukum dan kata Islam, secara terpisah merupakan kata yang di pergunakan dalam bahasa arab dan juga dalam bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai,meskipun tidak di temukan arti secara definitif. [1] Para ahli hukum masih berbeda pendapat dalam memberikan arti hukum Islam,sebagian mereka mengatakan bahwa hukum Islam itu merupakan pedoman moral, bukan hukum dalam pengertian modern hal ini di kemukakan oleh Muhammad Khalid Mas’ud bahwa hukum Islam adalah “a sistem of ethical or moral rules[2], di samping pemikiran tersebut sebagian ahli hukum Islam berpendapat bahwa hukum Islam adalah hukum dalam tatanan Modern, hal ini dapat dilihat dari muatan yang terdapat dalam hukum Islam dimana mampu menyelesaikan segala persoalan masyarakat yang tumbuh dan berkembang sejak ratusan tahun yang lalu dan hukum Islam ini tidak hanya dapat memenuhi aspirasi masyarakat pada saat ini, akan tetapi juga dapat dijadikan acuan yang akan datang dalam mengantisipasi pertumbuhan dan perkembangan sosial,ekonomi dan politik yang ada saat ini maupun akan datang.Hukum Islam bukan sekedar norma statis yang mengutamakan kedamaian dan ketertiban semata, akan tetapi juga mampu mendinamiskan pemikiran dan merekasa perilaku masyarakat dalam mencapai cita-cita kehidupannya. Menurut Josep Schacht[3],sebagaimana di kutip Abdul Manan,hukum Islam adalah keselutuhan khitab Allah yang mengatur kehidupan setiap individu muslim dalam asfek kehidupannya.sedangkan Muhammad muslihuddin mengatakan bahwa “ Islamic Law is devirely Ordered system.the will of God to be established on earth. It Is called shari’ah or the (right) path.Qur’an and Sunnah (taditions of the prophet) are its two primary and original sources.[4]( hukum Islam adalah suatu sistem hukum yang bersumber dari Allah, Kehendak Allah yang di tegakkan diatas Bumi, hukum Islam disebut Syari’ah atau jalan Kebenaran,Al-Qur’an dan Sunnah adalah Sumber utama dari Hukum Islam). Hukum Islam sebagai tatanan dalam hukum Modern dan salah satu sistem hukum yang belaku di dunia,subtansinya mencangkup seluruh asfek kehidupan manusia,yakni ; pertama, mencangkup Ibadah yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan; Kedua,mencangkup hukum-hukum yang berhubungan dengan keluarga ( al ahwat asy-syahsyiyah) seperti nikah,talak,rujuk,wasiat,waris dan handhanah. Ketiga,asfek muamalah (hukum sipil),yaitu hukum yang berhubungan dengan hukum antar manusia,seperti jual beli,gadai,joint usaha,pinjam-meminjam. Keempat,mencangkup asfek ekonomi,misalnya zakat,baitul maal,harta ghanimah,pajak,ribadll. Dengan melihat cakupan yang sangat komperhensif dari hukum Islam tersebut beberapa pakar hukum Islam termasuk Izco Insapato guru besar dari Harvard University menyatakan bahwa :”Hukum Islam dalam pembahasan-pembahasannya benar-benar menyumbangkan pada dunia suatu sistem hukum yang abadi” senada dengan Izco, Santilana yang juga guru besar dari Harvard University mengemukakan :Hukum Islam itu sangat memadai bagi kebutuhan hukum di kalangan muslimin dan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa hukum Islam itu mampu untuk menyelesaikan persoalan umat manusia dalam kehidupannya.” JND Anderson,seorang ahli hukum dari universitas London mengatakan bahwa :”Hukum Islam tidak dapat di tandinggi kesempurnaannya oleh sistem hukum manapun.
Hukum islam sebagai hukum di buktikan dengan karakteristik keilmuan, yaitu
1.      Bahwa hukum Islam tersusun melalui asas-asas tertentu ;
2.      Pengetahuan itu terjaring dalam suatu kesatuan sistem dan kerja ;
3.      Mempunyai metode-metode tertentu dalam operasionalnya.
Dari karakteristik ini menunjukkan bahwa apapun yang di hasilkan oleh Hukum Islam adalah produk pemikiran dan penalaran yang berarti pula menerima konsekuensi-konsekuensi sebagai ilmu, yaitu skeptis, bersedia untuk di uji dan di kaji ulan, dan sebagai ilmu tidak kebal kritik.
Berkaitan dengan Konsep hukum Islam beberapa pendapat yang selalu di kaitkan antara Hukum islam dengan ke abadian dan oleh karena itu di katakan absolut dan otoriter karena sumbernya yang berasal dari kehendak Tuhan. Pandangan pertama mengenai Konsep Hukum Islam di kemukakan, J.schacht dalam artikelnya “Theology and law islam” menyatakan bahwa selalu ada hubungan erat antara kecenderungan-kecenderungan kaum separatis hanyalah aksidental saja. Hal ini di tunjukan dengan fakta bahwa mazhab-mazhab hukum dan tokoh-tokohnya menunjukkan ketertarikan mereka pada hukum dan teologi.[5] Sejalan dengan Schacht, malcolm H.Keller juga meneliti bahwa konsep hukum Islam benar-benar berakar pada teologi, argumen yang menegaskan landasan-landasan teologi pada konsep hukum islam benar-benar diajukan untuk menekankan bahwa sumber hukum Islam kehendak Tuhan,bukan akal manusia.
            Bukti pertama yang di ajukan pendapat teologi pada konsep hukum islam yang menyatakan hukum islam abadi adalah mengenai keilahian sumber-sumber hukum islam, di pertahankan bahwa hukum islam mencari landasan wahyu Tuhan melalui Nabi ; landasan tersebut terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits. Karena bersifat illahiah atau di wahyukan oleh tuhan maka sumber-sumber ini di yakini suci,final,eternal dan karenannya abadi. Dalam pengertian inilah beberapa sarjana seperti  J.N.D.Anderson memahami konsep hukum islam sebagai hukum yang bersifat Illahiah,[6]
            Bukti kedua,yang berpandangan bahwa hukum islam adalah abadi mengunakan pertanyaan yang menyatakan sumber hukum dalam pengertian yang lebih abstrak, bukti ini berpendapat bahwa hukum islam memiliki sumbernya pada kehendak Tuhan. Gibb telah menyatakan pandangan ini dengan tegas sebagai berikut : “ Jadi,konsep hukum adalah otoriter hingga tahap terakhir hukum,yang merupakan konstitusi umat tidak bisa lain kecuali kehendak Tuhan,yang di wahyukan melalui Nabi.ini adalah bentuk prinsip semitian bahwa kehendak penguasa adalah hukum,karena Tuhan sematalah pimpinan umat, yang karenanya Dia sematalah (yang berhak menjadi) pembuat hukum.”[7] Dengan demikian Gibb mengemukakan argumentasi bahwa hukum islam adalah pemikiran,bukan sebagai produk intelegensia manusia dan  adaptasi dengan kebutuhan-kebutuhan dan identitas sosial,tetapi dari implikasi ilahi yang karenannya abadi. Al-Qur’an dan Hadits bukanlah landasan perenungan hukum Islam tetapi sekedar sumber-sumbernya.Fondasi hukum yang sebenarnya haruslah di dasari dalam sikap fikiran yang menentukan metode-metode dalam mengunakan sumber-sumber ini. Alasan tertinggi sikap mental semacam ini adalah bersifat metafisik ; suatu keyakinan apriori tentang ketidak sempuranaan akal manusia dan ketidak mampuannya untuk memahami melalui kekuatan-kekuatan murninya hakekat-nyata dari suatu yang baik,atau bahkan realitas apapun juga. Sebagai konsekuaensi dari logis dari konsep epistimologi hukum diatas, maka tidak ada peran primer diperkenankan bagi akal manusia independen dalam membuat hukum.[8]


[1] Abdul Manan,2006, Reformasi Hukum Islam di Indonesia,Jakarta : Rajawali Pers.Hal. 57
[2] Muhammad Khalid Mas’ud, 1977, Islamic legal Philosophy, A study of Abu Ishaq al Syatibi,Life and tought, Islamabad, Pakistan : Islamic Research Institute, Hal.9
[3] Josep Schacht, an Introduction to Islamic Law, 1993, Oxpord : Clarendon Press, Hal.1
[4] Muhammad muslihuddin, Phylosophy of islamic Law and the Orientalist; A Comparative study Of Islamic Legal System,Lahore,Pakistan : Islamic publication Ltd, tt.Hal.xii
[5] J.Schacht dalam  Widian W asmin, :Theology and Law in Islam,1977, Wiesbaden, 4f.f
[6] J.N.D.Anderson, Islamic Law in Modern World, 1959, New York :Newyork University Press,.17
[7] Gibb dalam Widian W Asmin, Muhammadinisme, 1962, Newyork : Oxpord.99
[8] Ibid, hal. 31
Scrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text Generator

Bagaimana Pendapat Anda Tentang Blog ini??

Aq Jadi Ayah

Minggu, 13 Juli 2008 anugerah Allah.S.W.T. yang tiada terhingga telah datang....suka,duka dan bahagia menjadi satu mengisi sanubari yang paling dalam...aq merasa menjadi manusia yang paling bahagia dan semuanya tidak lepas dari untaian ribuan rasa syukur atas kehadirat Allah yang maha perkasa atas nikmatnya kepadaqu...Ya ALLAH jadikanlah aq hamba yang selalu bersyukur kepada mu atas semua nikmat yang kau berikan kepada aq dan keluarga kecilqu yang kini telah sempurna dengan kehadiran si buah hati kami : Nabil Al-Farazy Zein.....Anakqu semoga engkau kelak menjadi anak yang berbakti kepada orang tua dan keluarga...menjadi anak yang cerdas dalam naungan kebenaran dan keadilan...Anak yang selalu menjadi kebangaan orang tua dan keluarga...Amien...Amien.. Ya ALLAH

Buah Hatiqu

Satu Minggu Jadi Ayah

Alhamdulillah...
setelah satu minggu menjadi ayah hanya satu kata untuk mengambarkannya..."Menyenangkan"
melihat perkembangan si kecil Nabil,melihat wajah polosnya yang masih bersih tanpa dosa dan noba setitikpun..........
mengagumi senyuman dan tawanya yang nyaris sempurna tanpa beban sedikitpun,.......
memandanggi mata bundarnya yang sangat indah tanpa cela..............
menikmati tangisannya yang merdu di tengah malam karena haus atau karena pipis.....
aq benar-benar selalu berusaha melihat dengan mata dan hati sungguh-sungguh anugrah ALLAH yang belum tentu dapat dinikmati oleh semua orang yang bernama Ayah....
Semoga......ini semua akan menambah dan memberikan pelajaran yang berharga dalam proses menikmati hidup...Amien...Amien..Ya Rabbal Alamin....

Semangat Baruqu