by:
Yahya Ahmad Zein
Salah satu elemen yang penting sistem negara yang demokratis adalah peran serta masyarakat dalam penentuan mengenai siapa yang akan menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam suatu wilayah melalui mekanisme Pilkada Secara Langsung, hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting bagi masyarakat. Apalagi, dalam masyarakat Indonesia yang sebagian terbesar masih dipengaruhi oleh kultur yang masih mengantungkan harapan kepada sosok figur kepala daerah dalam rangka menciptakan perbaikan atau perubahan dalam tatanan kehidupan mereka. Lantas Jika Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara lansung ini diklasifikasikan sebagai salah satu jenis partisipasi rakyat dalam politik, maka pertanyaannya adalah, apakah Pilkada secara lansung akan memberikan konstibusi bagi perkembangan dan pertumbuhan masyarakat ke arah yang lebih baik dari masa sebelumnya, Hal ini seakan bertolak belakang dengan salah satu perkembangan signifikan dalam perjalanan Pilkada di Indonesia umumnya dan khususnya di Kal-Tim dan tidak menutup kemungkinan juga akan terjadi di Tarakan tahun 2008 ini, ialah masih diwarnainya Pilkada dengan berbagai macam hambatan baik berupa kecurangan-kecurangan dan politik uang yang di lakukan.
secara umum hambatan-hambatan ini dikelompokkan menjadi beberapa hal yakni :
1. Hambatan Struktural, yaitu hambatan yang bersumber dari praktik-praktik penyelenggaraan Pengawasan dalam Pilkada yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi: belum berfungsinya fungsi pengawasan secara efektif serta lemahnya sistem pengendalian intern yang memiliki korelasi positip dengan berbagai penyimpangan dan inefesiensi dalam penyelengaraan Pilkada
2. Hambatan Kultural, yaitu hambatan yang bersumber dari kebiasaan negatif yang berkembang di masyarakat. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi: masih adanya ”sikap mudah mengagumi seseorang” hanya dengan iming-iming sesuatu. serta sikap permisif (masa bodoh) sebagian besar masyarakat dengan Pilkada tersebut.
3. Hambatan Instrumental, yaitu hambatan yang bersumber dari kurangnya instrumen pendukung dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang membuat penanganan kecurangan-kecurangan di Pilkada tidak berjalan sebagaimana mestinya.
4. Hambatan Manajemen, yaitu hambatan yang bersumber dari diabaikannya atau tidak diterapkannya prinsip-prinsip manajemen yang baik (komitmen yang tinggi agar pilkada dilaksanakan secara adil, transparan dan akuntabel) yang membuat Pilkada di beberapa daerah tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Sekalipun Pilkada Tarakan secara lansung yang akan berlangsung beberapa bulan mendatang direspon dengan antusias oleh masyarakat, namun dibalik antusias itu terkandung suatu “uji coba” bagi perkembangan dan pertumbuahan politik di Kota Tarakan. Artinya, prospek Pilkada langsung sebagai salah satu instumen demokrasi apabila tidak berjalan sesuai prinsip-prinsip Jujur,Adil dan Transparan serta Akuntabel, maka Dalam konteks ini Pilkada langsung di Tarakan akan dianggap gagal dalam memberikan konstribusi bagi perkembangan dan pertumbahan pemerintahan local pada satu pihak dan pada perkembangan dan pertumbuhan politik local dilain pihak.
Sejujurnya sangat sulit untuk menjawab pertanyaan, apakah Pilkada secara lansung yang akan di lakukan di Tarakan tahun 2008 ini akan memberikan konstibusi bagi perkembangan politik lokal dan pertumbuhan masyarakat ke arah yang lebih baik , hal ini dikarenakan setidaknya karena Pilkada lansung yang akan berlansung Oktober mendatang baru untuk yang pertama kali di lakukan di Tarakan. Meskipun bulan Mei tahun 2008 yang lalu kita telah memiliki pengalaman akan suatu Pemilu lansung dalam pemilihan Gubernur di Kal-Tim, tetapi mungkin dalam beberapa hal terdapat corak yang berbeda dan perspektifnya juga berbeda dengan Pilgub.
Mengakhiri tulisan ini ada beberapa pilihan model sebagai “kado istimewa” menjelang Pilkada Tarakan untuk kita, berkaitan dengan Pilkada yang bagaimana ingin kita lakukan dan kita capai :
Pertama, Pilkada berjalan lancar dan tanpa konflik, Kepala daerah yang terpilih dalam memimpin dan menjalankan tugas-tugas pemerintah daerah sesuai sebagaimana yang diharapkan rakyat –kebijakannya mengakomodir kepentingan publik--, maka sebenarnya Pilkada lansung berhasill secara subtantif dan dalam arti formalitas demokratis.
Kedua, Pilkada berjalan lancar dan tanpa konflik, tetapi Kepala daerah yang terpilih dalam memimpin dan menjalankan tugas-tugas pemerintah daerah tidak sebagaimana yang diharapkan rakyat –kebijakannya mengecewakan publik--, maka sebenarnya Pilkada lansung gagal secara subtantif dan hanya sukses dalam arti formalitas demokratis.
Ketiga, Pilkada berjalan lancar dan tanpa konflik, tetapi pemilih dihadapkan pada calon yang sesungguhnya tidaklah yang diharapkan rakyat, dan mereka memberikan suaranya karena tidak ada pilihan lain, maka Pilkada lansung gagal secara aspiratif dan kemungkinan melahirkan kekecewaan yang luar biasa ditengah masyarakat, ketika sang Kepala daerah terpilih tidak segera menyadari bagaimana aspirasi rakyat yang sebenarnya.
Keempat, Pilkada berlangsung disertai dengan konflik, maka Pilkada lansung menambah runyamnya krisis politik local sebagaimana halnya dengan berbagai peristiwa yang terjadi pada waktu pemilihan kepala Daerah di beberapa daerah seperti di Maluku Utara yang sampai saat ini masih belum bisa terselesaikan.
Kelima, Dalam Penentuan Kepala daerah terpilih terjadi kecurangan, maka Pilkada berpotensi melahirkan konflik local yang dapat mengganggu jalannya pemerintahan daerah untuk waktu yang mungkin saja bisa lama.
Keenam, Pilkada berjalan lancar dan tanpa konflik, tetapi setelah calon terpilih diperoleh dan ternyata kemudian persyaratan sang calon terpilih ditemukan persoalan hukum, maka akan terjadi versus antara fakta politik dan fakta hukum.